KH Asyiq Mukri, Ulama Bawean yang Berdakwah Hingga ke Negeri Singa
BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID -- Di sebuah pulau kecil yang terletak di Laut Jawa, tepatnya di Pulau Bawean pernah hidup seorang ulama pejuang. Ia adalah KH Asyiq Mukri. Dia mensyiarkan Islam di tanah kelahirannya hingga ke Singapura, yang dijuluki Negeri Singa.
Kiai Asyiq Mukri menghabiskan masa kanak-kanaknya di Pulau Bawean. Ia merupakan putra dari pasangan KH Mukri dan Hj Aisyah. Meskipun tanggal dan tahun kelahirannya belum diketahui dengan pasti, tapi ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-19.
Dalam buku “Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX-XX”, Burhanuddin Asnawi menceritakan, Asyiq Mukri sejak kecil sudah mendapat pendidikan agama di lingkungan keluarganya. Ia belajar kepada kakeknya, Kiai Asyiq Tua yang menjadi sesepuh ulama di kampungnya.
Baca Juga: Chord Lagu Di Tepian Rindu, Ciptaan Davi Siumbing yang Viral
Menginjak usia 10 tahun, ia pun dikirim oleh ayahnya untuk menuntut ilmu ke Tanah Suci. Saat berada di Makkah, dia belajar bahasa Arab, ilmu Alquran, dan ilmu keislaman lainnya kepada sejumlah ulama.
Setelah belajar di Makkah, dia melakukan rihlah ilmiah ke pesantren di Tanah Jawa. Ayahnya mengirimkannya ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari. Di bawah bimbingan Mbah Hasyim, ia mendalami ilmu hadits.
Diceritakan bahwa suatu waktu Kiai Hasyim penah menyuruhnya membahas sebuah hadits di hadapan para santri seniornya, termasuk KH Wahab Hasbullah. Ia pun mampu menerangkan dan menjelaskan hadits tersebut dengan baik, sehingga membuat kagum para pendengarnya.
Baca Juga: Kesaksian Jendral Belanda Soal Ketahanan Fisik Pangeran Diponegoro
Setelah itu, Asyik Mukri dipanggil oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk diijazah atau direstui mengajar ilmu hadits. Ijazah langsung dari gurunya ini tentu merupakan prestasi yang luar biasa.
Setelah beberapa tahun mondok di Tebuireng, pemuda Asyiq akhirnya pulang ke tempat kelahirannya di Pulau Bawean. Di kampung halamannya, dia lalu mengabdi menjadi guru ngaji yang digelar di rumahnya sendiri di Desa Gelam. Ia biasanya mengajari anak-anak muda Bawean pada malam hari.
Sebagai alumni pesantren di Tanah Jawa, Asyiq Mukri turut berjuang memajukan dua pendidikan, khususnya pendidikan agama dengan sistem pesantren. Para santrinya berdatangan dari perkampungan lain di Bawean, seperti dari Desa Pekalongan, Sukaoneng, Teluk Jati, Sumber Lanas, Padang Jambu, dan santri dari Desa Gelam sendiri.
Baca Juga: KH Anwari Faqih: Pendidik Revolusi Mental dari Pesantren
Saat itu Kiai Asyiq Mukri mendapat hambatan serius karena aktivitasnya dalam mengembangkan pendidikan mulai diawasi pemerintah Kolonial Belanda.
Kendati demikian, Kiai Asyiq tetap meneruskan langkahnya dengan terus mengajar secara sembunyi-sembunyi. Pengajiannya banyak digelar pada waktu malam hari untuk menghindari pengawasan Belanda.
Pada 1930 M, Kiai Asyiq Mukri merintis berdirinya Madrasah Ibtidaiyah yang kelak akan menjadi Madrasah Ibtidaiyah NU Bawean, sebagai lembaga pendidikan agama semi formal setingkat Sekolah Dasar (SD). Namun, Belanda terus menebar ancaman terhadap lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada di Pulau Bawean, termasuk madrasah yang dirintis Kiai Asyiq.
Baca Juga: Anak Muda Diajak Beralih ke Digital untuk Isi BBM
Dalam bukunya yang berjudul "Kisah-Kisah Pulau Putri (Pulau Bawean)", Zulfa Usman mengungkapkan bahwa Kiai Asyiq saat itu terus bergerak untuk mengembangkan pendidikan di kampung halamannya. Secara diam-diam pula dia menjadi motor penggerak berdirinya madrasah-madrasah di sekitar Desa Gelam.
Seperti kebanyakan masyarakat Bawean, KH Asyiq Mukri juga pernah merantau hingga ke negeri sebrang sembari berdakwah.
Di tengah kesibukannya merintis pendidikan agama dan sebagai guru ngaji, Kiai Asyiq Mukri sering pulang-pergi menjalin hubungan dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya di Singapura. Kiai Asyiq juga sempat tinggal dan bekerja sebagai pengusaha untuk beberapa waktu di Singapura.
Baca Juga: Wajibkah Memberi Nafkah pada Orang Tua yang Berbeda Agama?
Selain itu, di Negeri Singa itu Kiai Asyiq Mukri juga sempat memelopori berdirinya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Fatayat NU Cabang Singapura. Sayangnya, kondisi politik di Singapura kurang menguntungkan, sehingga organisasi Nahdliyin ini tidak bertahan lama.