Sejarah

Kesaksian Jendral Belanda Soal Ketahanan Fisik Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro

BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID -- Menjelang fajar pada bulan Sura, Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, tepatnya pada Jumat Wage, 11 November 1785. Dia pun diberi nama Bendoro Raden Mas Mustahar.

Dalam tarikh Jawa, hari kelahirannya itu sangat keramat karena terjadi pada bulan Sura, bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa. Ia dilahirkan untuk memulai gelombang sejarah baru.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam primbon Jawa, konon dipercaya bahwa yang lahir pada Jumat Wage adalah orang yang pandai bertutur dan berpengaruh kata-katanya dan berwatak pandit.

Tetapi, orang yang lahir pada hari itu akan menghadapi banyak halangan dan kesullitan dalam hidupnya karena pembawaannya yang terus terang.

Baca Juga: KH Anwari Faqih: Pendidik Revolusi Mental dari Pesantren

Salah satu sosok yang memiliki peran utama bagi Pangeran Diponegoro dalam masa pertumbuhannya adalah Ratu Ageng. Dia adalah seorang perempuan yang tangguh dan seorang putri kiai terkemuka dari Sragen. Silsilah Ratu Ageng sampai ke Sultan Bima.

Ratu Ageng lah yang membawa dan mengasuh Pangeran Diponegoro di kediamannya yang berada di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro mengatakan bahwa nenek buyutnya itu sangat tegas dan disegani.

Sejak kecil dia telah dibimbing oleh seorang pejuang wanita berpengalaman, taat beragama, dan berkamauan. Hingga akhirnya, Pangeran Diponegoro pun menjadi pejuang melawan penjajah Belanda.

Baca Juga: Anak Muda Diajak Beralih ke Digital untuk Isi BBM

Para perwira Belanda yang ditugaskan melacak Pangeran Diponegoro di hutan-hutan Bagelen Barat dan Banyumas pada ujung Perang Jawa terkesan dengan kegigihan Pangeran Diponegoro dalam mengadakan perlawanan.

Jenderal dan bangsawan Belanda yang menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1826 hingga 1830, Hendrik Merkus de Kock bahkan mengungkapkan kesaksiannya tentang ketahanan fisik Pangeran Diponegoro.  

“Pangeran Diponegoro layaknya terbuat dari besi bila orang membaca keadaan medan di mana dia bertahan dan gubuk-gubuk tempat dia membaringkan badannya yang keletihan di medan perang, segala-galanya (teramat) menyulitkan,” dikutip Wardiman Djojonegoro dalam buku Sejarah Singkat Diponegoro halaman 157.  

Baca Juga: Wajibkah Memberi Nafkah pada Orang Tua yang Berbeda Agama?

Pejabat dari Benua Biru yang pernah bertatap muka dengan Pangeran diponegoro cenderung menggambarkannya sebagai seorang yang kaku dan keras. Pangeran Diponegoro juga mengakui dalam babadnya bahwa sangat langka kerabatnya di Keraton yang berani bercanda dengan dia.

Selama Perang Jawa pada 1825-1830 M, Pangeran Diponegoro juga memiliki kebiasaan mengirim pakaian perempuan kepada para panglimanya yang dianggap telah bertindak seperti pengecut, beserta catatan yang menegaskan bahwa pakaian tersebut lebih baik daripada prajuritan (pakaian tempur) Jawa yang mereka kenakan dalam perang.

De Kock yang semula tidak bersikap baik terhadap Pangeran Diponegoro, akhirnya memuji sifat Pangeran Diponegoro yang “terbuka dan cerdas”.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita