Sejarah

Kisah Pelaut Majapahit yang Temukan Titik Nun dari Pulau Jawa

Pulau Bawean dijuluki sebagai Titik Nun dari Pulau Jawa

BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID -- Masyarakat Indonesia mungkin masih banyak belum mengetahui letak dari Pulau Bawean. Bahkan, nama pulau ini pun masih asing di telinga mereka.

Maklum lah jika belum mengetahuinya, karena pulau terpencil ini terletak di tengah laut, di antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pulau ini terletak di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer sebelah utara Gresik. Jika dilihat dari peta, pulau ini hanya tampak seperti titik nun huruf Arab. Karena itu lah Bawean dijuluki sebagai  “Titik Nun dari Pulau Jawa”.

Baca Juga: Mengucapkan Salam Saat Ziarah Kubur, Apakah Orang Mati Dengar?

Julukan ini pertama kali saya dengar dari sebuah artikel yang ditulis oleh mahasiswa Bawean di Yogyakarta. Tulisan itu dimuat dalam Majalah La’Aobe, sebuah majalah yang diterbitkan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Bawean Yogyakarta (Ipmabayo).

Secara geografis Pulau Bawean memang lebih dekat dengan Madura. Namun, secara administratif pulau ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pulau ini hanya terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak.

Kata Bawean sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar matahari. Menurut cerita rakyat Bawean, sekitar tahun 1350 ada sekelompok pelaut dari kerajaan Majapahit terjebak badai di laut Jawa.

Baca Juga: Pameran Batik-Jinju Silk, Harga Batik Madura Sampai Rp 100 Juta

Karena derasanya hempasan ombak, para pelaut Majapahit itu pun terdampar di suatu pulau, tepat pada saat matahari terbit. Akhirnya, pulau itu pun diberi nama Pulau Bawean.

Namun, tidak ada hasil penelitian yang dapat memastikan siapa orang yang pertama kali menemukan pulau Bawean. Semua itu hanya menjadi sebuah cerita yang terus terwariskan dari generasi ke generasi tanpa adanya bukti kongkret. Kalau bahasa baweannya, “Nya Papandiren” (Hanya ceirta dari mulut ke mulut).

Dalam kitab Negarakertagama, Pulau Bawean juga disebut juga sebagai Pulau Buwun. Nama Buwun sendiri belum lama ini dipopulerkan kembali oleh seorang sastrawan asal Gresik, Mardi Luhung. Dia menulis buku kumpulan puisi yang diberi judul “Buwun”.

Baca Juga: Doa Ayat Seribu Dinar: Rezeki Datang dari Sisi yang tak Terduga

Tidak hanya disebut Buwun, Bawean sebenarnya banyak memiliki julukan lain, seperti Pulau Putri, Pulau Majeti dan lain-lain. Namun, julukan pulau Bawean tersebut akan dibahas dalam tulisan berbeda.

Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Bawean menggunakan bahasa Bawean asli. Jika mendengar sekilas, bahasa Bawean mungkin agak mirip dengan bahasa Madura.

Namun, pada kenyatannya orang Madura banyak yang sulit mencerna bahasa Bawean, karena dari segi pengucapannya agak lebih cepat dan terdapat banyak kosa kata yang berbeda.

Baca Juga: Dosen Ubhara Jaya Ajarkan Keterampilan Gerakan Fundamental pada Siswa SDIT

Dalam catatan sejarah, Pulau Bawean juga pernah menduduki tempat yang penting dalam jaringan lalu lintas pelayaran di Nusantara. Pulau Bawean dulunya kerap menjadi tempat persinggahan para pelaut untuk mengisi bahan makanan dan air minum, serta sebagai tempat bernaung terhadap angin badai dan topan.

Tidaklah mengherankan apabila interaksi dengan dunia luar ini telah membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Bawean. Beberapa pelaut yang singgah di Pulau Putri ini, sebagian memilih menetap di Pulau Bawean dan menikahi perempuan Bawean.

Karena itu, tak mengherankan jika suku Bawean terbentuk dari berbagai macam suku di Nusantara. Orang yang datang ke Bawean tidak hanya dari Madura, tapi juga dari Melayu, Jawa, Banjar, Bugis dan Makassar. Pencampuran antara suku ini telah terjadi selama ratusan tahun lamanya.

Baca Juga: Dahnil Anzar: Pesantren Garda Terdepan Pertahanan Indonesia

Melalui jaringan pelayaran ini pula agama dan kebudayaan Islam telah masuk ke Pulau Bawean. Dikutip dari buku Bawean dan Islam karya Jacop Vredenbergt, masuknya Islam ke Pulau ini dimulai dengan pendakwah yang datang secara insindental.

Kemudian, pada awal abad ke-16, datanglah seorang pendakwah bernama Said Maulana Umar Mas’ud, sehingga penerimaan agama dan kebudayaan Islam di Bawean semakin mapan. Dengan datangnya Syekh Maulana Umar Mas’ud, terciptalah masyarakat Bawean yang taat beragama.

Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk kabupaten Gresik. Pulau Bawean hanya terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Seperti halnya suku-suku lain di Nusantara, orang Bawean memiliki budaya merantau, terutama ke Singapura dan Malaysia.

Berita Terkait

Image

Khatib Sholat Jumat Soroti Masuknya Narkoba di Bawean

Image

Buah Merah, Buah Surga Berkhasiat dari Pulau Bawean

Image

Tradisi Merangkak di Antara Dua Kaki Ibu untuk Merantau

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita