Sejarah

KH Dhofir bin Habib, Ulama Bawean yang Makamnya Dibongkar di Jakarta

KH Dhofir bin Habib adalah seorang ulama asal Pulau Bawean.

BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID  -- Bawean adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Kabupaten Gresik. Nama pulau ini hampir sama dengan Bawen, sebuah daerah yang ada di Semarang. Namun, keduanya sangatlah berbeda.

Pulau Bawean termasuk salah satu daerah kepulauan yang melahirkan banyak ulama, di antaranya adalah KH Dhofir bin Habib. Dia adalah salah seorang santri Syaikhona Kholil Bangkalan asal Bawean yang makamnya pernah dibongkar di Jakarta dan dipindahkan ke Jawa Timur.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Syaikhona Kholil Bangkalan sendiri merupakan seorang ulama nusantara yang sangat masyhur dan disebut sebagai maha guru para ulama Indonesia. Santri-santrinya hampir seluruhnya menjadi ulama, termasuk Kiai Dhofir asal Pulau Bawean ini.

Baca Juga: One Piece: Apa Hubungan Shanks dengan Pemerintah Dunia?

KH Dhofir bin Habib adalah putra dari pasangan Kiai Habib dengan Hj Khadijah yang berasal dari Desa Patar Selamat atau Dissalam. Kemudian keluarga ini menetap di Dusun Bengko Sobung, Desa Kota Kusuma, Kecamatan Sangkapura, Bawean, Gresik.

Merujuk buku “Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX-XX” karya Burhanuddin Asnawi, Kiai Dhofir lahir sekitar 1885-an atau pada penghujung abad ke-19. Setelah sempat bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) di Bawean, pemuda Dhafir kemudian berkelana meninggalkan pulau tercintanya.

Pemuda Dhafir menjalani masa mudanya dengan meniti pesantren-pesantren yang ada di tanah Jawa, khususnya di Jawa Timur. Ia tercatat sebagai santri Syekh Kholil Bangkalan menjelang masa akhir periode ulama karismatik itu membina santri-santri dari penjuru nusantara.

Baca Juga: Siapakah Sosok Lady Stoneheart dalam Game Of Thrones?

Selain nyantri kepada Syaikhona Kholil, pemuda Dhofir juga belajar di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Pesantren inilah yang menjadi salah satu kebanggaannya. Bahkan, hampir semua ulama besar asal Bawean adalah alumni pesantren tersebut, termasuk Kiai Dhofir.

Perantauannya ke Tanah Jawa ini tidak hanya membuatnya menguasai kitab kuning, tetapi juga telah menjadikannya sebagai Al Hafiz, sebutan bagi orang yang hafal Alquran 30 juz.

Periode menghafal Alquran dilalui pemuda Dhofir di sebuah Pesantren Tahfidz yang ada di daerah Sidayu, Gresik. Kemudian, hafalan Alqurannya ia sempurnakan ketika belajar ke Tanah Suci Makkah.

Baca Juga: Apakah Sama Bahasa Bawean dan Bahasa Madura?

Kakaknya, KH Hidir bin Habib telah lebih dulu menuntut ilmu di tanah kelahiran Nabi Muhammad itu selama 11 tahun. Sedangkan pemuda Dhofir hanya 10 tahun tinggal di Makkan dan menuntut ilmu di sana.

Setelah satu dasawarsa mengaji di Makkah, ternyata belumlah cukup bagi Kiai Dhofir untuk berkelana menuntut ilmu. Ia pun berniat untuk belajar lagi ke Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Namun, Niat menuntut ilmu di pondok tertua di Indonesia itu tidak seperti yang dicita-citakan. Karena, pengasuh Pesantren Sidogiri kala itu, KH Nawawi bin Nur Hasan justru menugaskan Kiai Dhofir untuk mulang atau mengajar para santri Sidogiri lainnya.

Baca Juga: Di Mana Sumber Energi Keridhaan Allah?

“Ketika Kiai Dhofir berada di Sidogiri, sebetulnya ia sudah mulang. Setiap bulan Ramadhan, Kiai Nawawi mengamanatkan Kiai Dhofir untuk menjadi imam sholat Tarawih, tapi jamaahnya cuma sedikit karena tarawihnya membaca Alquran sampai khatam,” kata putra keenam almarhum Kiai Dhofir, KH Ali Dhohir (1941-2015) saat diwawancara Burhanuddin Asnawi pada 2014 lalu.

Di Pesantren Sidogiri, Kiai Dhofir mengajar Alquran baik tingkat santri pemula atau para santri tua yang ingin memperdalam ilmu-ilmu Alquran, termasuk para keluarga Pesantren Sidogiri.

Pada periode ini, terdengar kabar bahwa pemuda Dhofir nyantri di Sidogiri sekaligus menjadi anak angkat Kiai Nawawi.  

Ada kemudngkinan pemuda Dhofir telah bertemu dan berguru kepada Kiai Nawawi sejak berada di Makkah. Karena, tidak mungkin Kiai Nawawi secepat itu menjadikan pemuda Dhofir sebagai anak angkatnya tanpa ada latar belakang kedekatan sebelumnya.

Baca Juga: Pantai Mayangkara, Hamparan Pasir Putih Tersembunyi di Pulau Bawean

Sidogiri dan Bawean sendiri merupakan dua nama yang tidak bisa dilepaskan dari perjalan karir pemuda Dhofir. Sejak saat itu, sejarah hubungan kedekatan emosional Bawean-Sidogiri semakin melekat dan sulit dipisahkan.

Selama ini, Sidogiri telah mencetak ulama Bawean yang tak terhitung jumlahnya. Ribuan alumni dan santri Sidogiri asal Bawean hingga sekarang masih terlihat kekuatan eksistensinya.

Lebih dari itu, sejarah kedekatan emosional ini telah berlangsung lebih dari tiga abad silam, tepatnya ketika periode awal berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yang dirintis Sayyid Sulaiman pada 1745 M.

Tercatat dalam sejarah perjuangan awal Sayyid Sulaiman bahwa cucu Sunan Gunung Jati tersebut berhasil mendirikan Sidogiri karena dibantu oleh Kiai Aminullah, yang tidak lain adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman asal Pulau Bawean.

Baca Juga: Kemenag Buka Pendaftaran CPNS dan PPPK 2023, Begini Cara Daftar dan Syaratnya

Kembali ke Tanah Kelahiran

Setelah dari Sidogiri, Kiai Dhofir pun pulang ke Bawean. Sekitar 1925-an, dia pun mengawali hidup baru di Bawean dengan menikahi Hj Fatimah, seorang perempuan asal kampong Sabe Deje, Sangkapura.

Meskipun sudah menikah, sikap tawadhu dan tradisi Pesantren tidak bisa dihilangkan dari identitasnya. Ia bahkan ikut turun ke sawah menanam benih untuk mengisi lumbung padi rumah tangganya.

Kiai Dhofir masih terlihat memakai pakaian thawb, pakaian khas Makkah dengan udeng,  mengikat ghutra yang menutupi bagian atas kepalanya, sambil membersihkan sampah-sampah di sela-sela Batu yang mengganggu derasnya aliran air sungai di kampungnya.

Baca Juga: Bolehkah Bertanya Masalah Agama pada ChatGPT? Ini Penjelasan Lengkap Munas Alim Ulama NU

Sering pula ia terlihat memikul kayu bakar yang dicarinya di hutan sebagai bahan bakar dapur rumah tangganya.

“Kiai Dhofir tidak senang melihat orang yang tidak bekerja (pengangguran). Dapur di rumahnya penuh dengan kayu bakar yang ia angkut sendiri kadang bersama santrinya. Ia tidak pernah terlihat berdiam diri dalam keadaan santai melainkan selalu ada yang ia kerjakan,” kata para santrinya yang pernah diwawancara Burhanuddin Asnawi.

Di waktu pagi, Kiai Dhofir biasanya mengajar santri di rumah kediamannya. Menariknya, para santri yang datang dari berbagai kampong di Bawean saat itu sudah belajar kitab kuning layaknya di pesantren. Karena, mereka sedikit banyak sudah bisa membaca Alquran.

Baca Juga: Khutbah Jumat Maulid Nabi: Rasulullah Teladan Bangun Peradaban Berbasis Masjid

Meski Kiai Dhofir seorang Hafidz, aktivitas mengajinya tidak hanya berfokus pada pembelajaran menghafalkan Alquran saja, tapi juga fokus kepada pengetahuan santri dalam pemahaman ilmu tauhid, akidah, dan fikih.

Beberapa kitab yang menjadi pokok kajiannya adalah Kifayatul Awam, Syarah Sulamut Taufik, Safinatun Najah, Fathul Qorib, dan Fathul Mu'in.

Dalam kacamata santri-santrinya, Kiai dhofir terkenal sabar, akrab, serta begitu bersahaja menjalani kehidupan sehari-hari. Tapi, tidak begitu bagi anak-anaknya sendiri.

Baca Juga: One Piece: Penjelasan Lengkap Buah Iblis Hito Hito no Mi Model Nika Milik Luffy

Kiai Dhofir cukup keras dalam hal mendidik anak. Malah ia lebih dahulu memperhatikan santrinya daripada anaknya. Hal ini sepertinya tidak bisa dipisahkan dari pengalaman yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang dikuasainya.

Sejak menetap di Bawean, Kiai Dhofir menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua orang istri dalam satu periode, yaitu Hj Aminah dan Hj Fatmah. Selama satu selama itu pula ia masih konsisten membagi tempat tinggal di dua kampung yang berbeda.

Suatu hari Kiai Dhofir berada di rumah istri pertamanya, Hj Aminah di kampung Saba Daje dan pada hari yang lain ia harus tinggal di rumah istri keduanya, Hj Fatma di kampung Bengko Sobung .

Baca Juga: Lirik dan Makna Sholawat Al Hijrotu Versi Mohamed Youssef

Pada musim haji 1971, Kiai Dhofir kemudian ingin mengantarkan istri pertamanya, Hj Aminah. Pada waktu itu, Hj Aminah akan berangkat ke Makkah lewat jalur Singapura. Tapi, takdir menghalanginya. Kiai Dhofir hanya sempat mengantarkannya sampai di Jakarta.

Saat di Jakarta, Kiai Dhofir mendadak sakit dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Ia pun masuk ruang ICU. Setelah mengucap takbir, Kiai Dhofir dipanggil oleh Allah SWT. Ia wafat pada 19 Agustus 1971 dan dimakamkan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Setelah lebih dari setahun kemudian, lahan pekuburan umum persis di area pekuburan Kiai Dhofir tiba-tiba akan dibangun untuk kepentingan pemerintah dalam hal pelebaran kawasan pelabuhan.

Keputusannya adalah semua makam yang terletak di area tersebut harus dibongkar dan akan dipindahkan ke tempat lain.

Baca Juga: MUI Imbau Dai Beri Pendidikan Politik untuk Umat

Beruntung kebijakan Gubernur waktu itu, Ali Sadikin, mendapat respons positif dari semua kalangan ahli waris yang keluarganya menghuni lahan pekuburan tersebut, termasuk ahli waris Kaii Dhofir sendiri yang waktu itu datang ke Jakarta untuk memindahkan jenazah almarhum Kiai Dhofir.

Akan tetapi, setelah jenazah almarhum diterbangkan dari Jakarta menuju Surabaya, ada saran khusus dari keluarga besar Pondok Pesantren Sidogiri agar jenazah Kiai Dhofir dibawa ke Sidogiri untuk dimakamkan di komplek pemakaman pesantren tersebut.

Selama hidupnya, Kiai Dhofir dikenal seorang alim kharismatik yang disegani, baik di kalangan sahabatnya di tanah Jawa atau ulama di Bawean, terlebih para santrinya.

Sistem pembelajaran khas tradisi di pesantren yang dirintis Kiai Dhohir berlangsung kurang lebih 50 tahun sejak ia menetap di Pulau Bawean. Bahkan, hingga usianya menjelang senja, Kiai Dhofir masih terlihat mengajar kitab-kitab tafsir khususnya bagi santri-santri dua.

Kehadirannya ibarat denyut nadi yang terus berdetak mengiringi gerak sendi-sendi tradisi keilmuan dan kekuatan nilai-nilai Islami.

Baca Juga: Panji Gumilang dan Al Zaytun Akhirnya Bersedia Dibina Kemenag dan MUI

Beberapa nasehat Kiai Dhofir kepada santrinya masih Membekas sebagai pusaka hidup yang selalu dikenangnya. Di antara nasihatnya adalah sebagai berikut:

  1. Ajhek Bengal-bengal ka oreng. Artinya, “Jangan angkuh pada sesame manusia”.
  2. Ajjhek ghede-dhede. Artinya, “Jangan sombong”
  3. Ajjhek ngako penter. Artinya, “Jangan mengaku pintar”.

Sumber: Buku "Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX-XX" karya Burhanuddin Asnawi alias Bobo.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita