Agama

Bolehkah Bertanya Masalah Agama pada ChatGPT? Ini Penjelasan Lengkap Munas Alim Ulama NU

Para ulama dan kiai NU dalam acara Munas Alim Ulama yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Kamis (21/9/2023).

BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID -- ChatGPT merupakan salah satu kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang cara kerjanya memakai format percakapan. ChatGPT dapat digunakan untuk berbagai macam tugas, seperti menjawab pertanyaan, termasuk pertanyaan tentang keagamaan.

Setelah AI popular, kemudian muncul lagi istilah Natural Language Processing (NLP). Pemrosesan bahasa alami (NLP) ini adalah cabang kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan komputer memahami, menghasilkan, dan memanipulasi bahasa manusia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun, bolehkah bertanya masalah agama pada AI atau Natural Language Processing (NLP)?

Masalah ini menjadi pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada 18-19 September 2023. Dalam bahtsul masail ini, para ulama mendeskripsikan masalahnya dan kemudian memberikan jawabannya berdasarkan perspektif keagamaan.

Baca Juga: Khutbah Jumat Maulid Nabi: Rasulullah Teladan Bangun Peradaban Berbasis Masjid

Penjelasan ini disampaikan oleh Komisi Bhatsul Masail Waqi’iyyah Munas Alim Ulama NU. Berikut penjelasan lengkapnya tentang hukum bertanya masalah keagamaan kepada AI, seperti ChatGPT:

 

A. Deskripsi Masalah

Artificial Intelligence (AI) secara bahasa berarti kecerdasan buatan. Ia didefinisikan sebagai sebuah sistem komputasi yang mampu meniru kecerdasan manusia. AI diharapkan mampu melakukan pembelajaran, penalaran dan mengoreksi diri secara mandiri. Ringkasnya, AI merupakan sistem komputer yang diciptakan untuk mampu meniru cara berfikir manusia dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan dengan lebih cepat dan efisien.

Sementara AI NLP atau Natural Language Processing adalah AI yang bisa berinteraksi dengan user/pengguna manusia menggunakan bahasa manusia (natural language) semisal bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa Kromo, bahasa Navajo, bahasa Njerep. AI NLP sangat bergantung pada kelengkapan dan kesahihan data teks sebagai input trainingnya.

Kualitas AI NLP dalam bahasa Inggris cenderung lebih baik daripada bahasa Indonesia yang lebih baik ketimbang bahasa Jawa, dan seterusnya, tergantung kuantitas dan kualitas data dalam bahasa tersebut. Kecil kemungkinan AI NLP bisa berbahasa Navajo & Njerep misalnya, karena termasuk bahasa yang sangat langka.

Baca Juga: MUI Imbau Dai Beri Pendidikan Politik untuk Umat

AI NLP yang dibahas adalah AI NLP seperti ChatGPT versi GPT-4 yang bekerja secara stochastic/probabilistic (tidak pasti) berdasarkan hasil belajar dari data (statistical learning, machine learning). Tahapan dan langkah-langkahnya dipengaruhi oleh faktor acak (randomness), dengan kata lain: tidak ada rumusnya. Dengan input/masukan yang sama persis, tidak bisa dijamin menghasilkan output/keluaran yang konsisten sama, bisa berbeda-beda.

AI NLP sebagai masail waqi’iyyah adalah sesuatu yang riil terjadi. Terutamanya beberapa AI NLP Large Language Model (LLM) tertentu yang terbaru dan tercanggih, yang bisa diajak chat/diskusi dan tanya jawab oleh pengguna manusia.

AI NLP LLM yang bisa diakses oleh masyarakat umum ini mulai diramaikan oleh ChatGPT keluaran OpenAI pada akhir 2022 https://chat.openai.com/ (versi gratis GPT-3.5 dan versi tercanggih GPT-4 yang berbayar). Disusul pesaingnya seperti Bard keluaran Google pada awal 2023 https://bard.google.com/ dan LlaMa keluaran Meta/Facebook di medio 2023 https://ai.meta.com/llama/.

Di antara AI NLP LLM saat ini, yang paling canggih dan lancar berdiskusi dalam bahasa Indonesia dan Arab adalah ChatGPT versi GPT-4 yang berbayar. Bahkan versi GPT-4 dipersepsikan mampu menjawab permasalahan agama dan dalil-dalilnya, misalnya mengutip ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi yang relevan.

Baca Juga: Panji Gumilang dan Al Zaytun Akhirnya Bersedia Dibina Kemenag dan MUI

B. Pertanyaan

  1. Bolehkah menanyakan persoalan keagamaan pada AI NLP (Artificial Intelligence Natural Language Processing)—seperti ChatGPT versi GPT-4—yang bekerja secara stochastic/ probabilistic (tidak pasti) berdasarkan hasil belajar dari data untuk dijadikan pedoman?
  2. Bagaimana hukumnya turut serta mengembangkan sistem AI NLP agar lebih sempurna?

C. Jawaban

  1. Hukum menanyakan persoalan agama pada AI NLP Stochastic/Probabilistic —seperti ChatGPT versi GPT-4—adalah tidak diperbolehkan karena sejauh ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (ghairu mautsuq bih).
  2. Boleh, bahkan wajib kifayah dalam rangka menyajikan konten rujukan keislaman yang otoritatif di ruang digital kepada masyarakat yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi.

Baca Juga: Doa Keluar Rumah dari Habib Umar bin Hafidz, Lengkap dengan Latin dan Artinya

D. Penjelasan Jawaban

  1. Menanyakan Masalah Agama pada AI NLP Stochastic/Probabilistic untuk Dijadikan Pedoman.

Dalam Islam, orang yang hendak melakukan sesuatu harus mengetahui hukum syariat tindakan yang dilakukannya, baik berijtihad sendiri dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh para ulama bagi orang yang mampu, atau bagi yang tidak mampu dengan bertanya kepada orang yang mampu. Kewajiban bertanya hukum syariat ini tercermin dalam firman Allah:

????????????? ?????? ????????? ???? ???????? ??? ????????????

Artinya: “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Anbiya’: 7).

Dalam menafsiri ayat, Imam As-Suyuthi dalam Durrul Mantsur mengaitkan ayat ini dengan hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi:

??? ????????? ??????????? ??? ???????? ???? ???????? ????? ????????? ??????????? ???? ???????? ???? ????????

Artinya: “Tidak sepatutnya seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya, dan seorang yang bodoh menyembunyikan kebodohannya.”

Setelah menyampaikan hadis ini, As-Suyuthi menjelaskan:

???? ????? ????: ??????????? ?????? ????????? ???? ??????? ??? ???????????? ??????????? ?????????? ??? ???????? ???????? ????? ????? ???? ????? ?????????

Artinya: “Dan sungguh Allah Swt. telah berfirman “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” Maka sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mengetahui setiap tindakan yang dilakukannya apakah telah sesuai dengan petunjuk (syariat) atau justru sebaliknya.”

Dari sini dapat dipahami bahwa orang berilmu harus berani tampil dengan hujah dan kesantunan akhlak, sementara orang bodoh harus berani tampil menghilangkan kebodohannya, yaitu dengan mencari ilmu dan bertanya persoalan agama kepada orang yang mengetahuinya.

Keterangan dari hadits ini berbanding lurus dengan perintah ayat Al-Quran yang disampaikan sebelumnya, yaitu kewajiban bertanya tentang hukum agama yang tidak diketahui kepada ulama.

Namun, teknologi dan cara manusia mengakses informasi terus berkembang, dimana banyak orang bertanya hukum Islam pada AI NLP (Artificial Intelligence Natural Language Processing).

Fenomena ini adalah efek penggunaan teknologi AI NLP dalam berbagai bidang, termasuk pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing) dan chatbot yang dilengkapi dengan pengetahuan hukum Islam.

Berdasarkan fenomena di atas, maka terdapat dua hal yang perlu disikapi, yaitu hukum bertanya persoalan agama pada AI NLP dan hukum mengamalkannya.

AI NLP (Natural Language Processing) merupakan subbidang dalam kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) yang berfokus pada pemahaman, analisis dan generasi bahasa manusia oleh komputer, di mana sumber pengetahuannya bersifat stochastic/probabilistic (tidak pasti) yakni berdasarkan hasil belajar dari data (statistical learning, machine learning), sedangkan tahapan dan langkah-langkahnya dipengaruhi oleh faktor yang acak (randomness).

Padahal secara prinsip, permasalahan agama wajib merujuk kepada pakar atau sumber referensi agama yang otoritatif dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (mautsuq bih). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab berkata:

????? ???????? ????????? ????? ??????? ???????? ????????????? ?????????? ??????????? ????????????? ???????????? ????????????? ??????????? ?????????????: ?????? ????? ????? ???????? ????????? ??????????? ???? ????????? ????? ????????? ????? ??????????? ??????? ??????????? ?????????

Artinya: “Janganlah orang mengambil ilmu kecuali dari orang yang sempurna keahliannya, terlihat jelas keteguhan agamanya, luas pengetahuannya dan masyhur kredibilitasnya. Ibnu Sirin, Imam Malik, dan ulama salaf berkata: “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.’’

Sebab itu ulama menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan keterangan dari kitab-kitab yang tidak diketahui pengarangnya atau tidak diketahui validitas isinya.

?????? ???????? ????? ???????????? ???????? ????????? ??? ????? ?????????? ???? ???????? ????????????? ????? ?????? ????? ????????? ???? ?????????? ???? ????????? ??????? ?????? ????????????? ?????? ???????? ??????? ??? ?????? ??? ???????. ????? ?????????? ??????? ???????? ????????????? ???????? ????? ??? ??????? ???????????? ??? ????????? ??????????? ???? ????????????? ???????? ?????????? ???? ????????? ???????????? ???????????? ???? ???? ?????????? ????????? ??? ?????? ???? ?????????? ????? ????????? ?????????????? ?????? ???? ???????? ????? ???????????? ??????? ?????????? ????????? ???????? ???????????? ?????????????. ??????? ???????? ?????????? ???? ????????? ???????????? ??????? ???? ?????????? ?????? ??????????? ???????? ???????????? ?????????? ??????? ??? ??????.

Artinya: “Pengarang memulai dengan menyebut dirinya dalam konteks muqaddimah ini, karena keterangan yang diketahui bahwa mengamalkan atau berfatwa dari kitab-kitab yang tidak diketahui pengarangnya dan tidak diketahui kebenaran isinya, adalah tidak diperbolehkan. al-Imam Syihabuddin al-Qarafi dalam kitab al-Ihkam Fi Tamyizi al-Fatawa 'an al-Ahkam berkata, haram berfatwa dari kitab-kitab yang baru dikarang jika tidak masyhur penisbatan kutipannya kepada kitab-kitab yang masyhur, kecuali pengarangnya termasuk orang yang bisa dipedomani karena kesahihan ilmunya dan dapat dipercaya kesalehan personalnya. Demikian pula haram berfatwa dari kitab-kitab langka yang tidak masyhur sehingga sempurna kemantapan terhadapnya dan diyakini kebenaran isinya.”

Ketidakbolehan menjadikan jawaban AI NLP sebagai pedoman dalam permasalahan agama mempertimbangkan tiga hal sebagai berikut:

  1. Tidak dapat dipastikan kebenaran output-nya karena faktor randomness dan hallucination.
  2. AI NLP tidak memiliki kreativitas dan empati untuk mengetahui kondisi riil penanya.
  3. Bias dari data yang dimasukkan (atau dilatihkan ke AI).

Mengamalkan agama harus bersumber pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana pernyataan Syekh Izzuddin Ibnu Abdissalam yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab Asybah wan Nadhair:

?????? ????????????? ????? ?????? ????????? ???????????? ???????????? ?????? ?????? ???????? ???????????? ??? ????? ????????? ????? ??????? ????????????? ????????? ??????????????? ???????? ; ??????? ????????? ???? ???????? ????? ????? ???????? ??????????????

Artinya: “Adapun berpedoman pada kitab-kitab yang shahih fikih dan terpercaya, maka para ulama zaman ini sepakat mengenai kebolehan berpedoman dan mengacu padanya. Sebab, kredibilitas yang dihasilkan dari karya tulis sama halnya dengan kredibilitas yang dihasilkan dari periwayatan.” 

Realitas sumber AI NLP yang acak dan tidak jelas, dapat menghasilkan jawaban yang campur-baur antara yang sesuai dengan syariat dan yang tidak. Dalam konteks seperti itu, ulama memberi batasan agar tidak menjadikan rujukan suatu kitab atau keputusan yang sumber hukumnya tidak jelas. Imam Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki menyatakan:

??????? ????? ???????? ????????? ???? ????????? ???????????? ??????? ???? ??????????? ?????? ??????????? ????????? ??????????? ?????????? ??????? ??? ???????? ?????????? ????????? ???????????? ???????????? ????? ???? ?????????? ?????? ??? ??????? ???? ??????????? ????? ????????? ??????????????? ???? ???????? ????? ???????????? ????? ?????????? ????? ????????? ???? ??????????? ?????? ?????????? ?????????????

Artinya: “Dengan demikian, haram berfatwa dari sumber yang asing dan tidak masyhur hingga dipastikan kebenaran kandungannya. Begitupun kitab-kitab baru yang tidak masyhur menukil dari kitab-kitab yang sudah diakui kredibiltasnya atau dapat penyusunnya diketahui berpedoman dengan standar kesahihan seperti ini dan ia merupakan orang yang tepercaya keadilannya.”

Selain memiliki pemahaman ilmu agama yang memadai dan bersumber dari kitab-kitab shahih, orang yang dijadikan sebagai rujukan persoalan keagamaan harus mehamahami konteks penerapan hukum. Sebab, hukum berlaku dinamis menyesuaikan tempat dan kondisi. Dengan kepekaan terhadap konteks ini, ia akan memutuskan hukum sesuai kemaslahatan dan dapat menghindari  kegaduhan di tengah masyarakat. Imam Muhammad bin Muhammad Al-Khadimi Al-Hanafi menyatakan:

(??????? ??????????? ?????????????? ?????????? ????????? ???????? ????????????? ??? ?????????? ?????????? ??????????? ??????????? ???????????) ????? ??????? ??????? ??????? ??????? ????????? ????????? ??????? ??????? ????? ???? ???? ???????? ?????? ????????? ?????? ??????? ??????? ???????????? ???? ??????????? ??????????? ???????????? ??????????????

Artinya: “Suatu keharusan bagi para dai dan mufti untuk mengetahui kondisi, adat dalam masyarakat terkaitan penerimaan, penolakan, pengamalan, kemalasan dalam menerima informasi dan lain sebagainya, sebagaimana ungkapan: “Setiap tempat mempunyai cara penyampaian tersendiri dan setiap orang mempunyai tempatnya sendiri.” Juga sebagaimana ungkapan lain: “Orang yang tidak mengetahui kondisi zamannya maka ia bodoh, sebab hukum itu berubah dengan berubahnya zaman dan objek hukum.”

Dengan demikian, maka jawaban yang dihasilkan dari AI NLP (Natural Language Processing) tidak dapat dijadikan pedoman dalam permasalahan agama karena bersumber dari sebuah teknologi yang tidak memahami kondisi dan situasi, sehingga berpotensi besar menimbulkan kekeliruan.

  1. Hukum Bertanya Persoalan Agama dan Mengamalkan Jawaban dari AI Deterministic Non-NLP

Maksud AI Deterministic Non-NLP adalah AI yang cara kerjanya berdasarkan algoritma/rumus, dan tidak melibatkan bahasa manusia, seperti aplikasi waktu shalat, falakiyah/astronomi, penghitungan zakat. Adapun hukum menjadikan pedoman dari AI Deterministic Non-NLP adalah boleh bila informasi jawaban AI tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (tsiqah).

Sudut pandang tsiqah dalam konteks ini ditinjau dari dua hal. Pertama, input data yang benar dari pakar agama yang otoritatif. Kedua, sistem yang terjamin keamanannya dari kesalahan. Jika tidak demikian, seperti bila inputnya salah atau keamanan sistem yang tidak terjamin sehingga dapat dipastikan akan menghasilkan output jawaban yang salah, maka hukumnya tidak boleh.

  1. Hukum Mengembangkan Sistem AI NLP agar Lebih Sempurna

Di dalam Islam terdapat hukum syariat yang mengikat segenap pemeluknya. Kepatuhan terhadap hukum syariat, selain sebagai bentuk penghambaan kepada Allah swt, juga menjadi panduan manusia dalam upaya menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatuddarain).

Hukum syariat dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat, kemudian sahabat yang menerima penjelasan hukum tersebut secara kolektif (kifayah) mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan kepada orang-orang yang belum mengetahui dan seterusnya. Allah swt berfirman:

????? ????? ?????????????? ??????????? ???????? ?  ????????? ?????? ??? ????? ???????? ????????? ????????? ???????????????? ??? ???????? ????????????? ?????????? ????? ???????? ?????????? ??????????? ???????????

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah 122).

Dalam tafsirnya atas ayat ini, Imam Fakhruddin ar-Razi menyatakan:

??????? ??? ??????? ??????????????? ???? ?????????? ???????????????? ????? ????????? ????????????? ???? ?????? ???? ????????? ?????????????. ??????? ????????? ??? ???????? ??????????? ?????????? ????????? ??????? ????? ?????????? ???????? ??????? ???????????? ??? ?????? ????????? ????? ?????????? ??? ????? ??????? ???? ??????? ????????? ??????? ????????????? ???????? ?????????????? ????????? ??????? ???????????????? ??????? ????? ???? ??????? ???????? ?????????? ?????????? ???????? ?????????? ????????????? ?????? ????????????? ?????????? ?????? ????????????? ?????????????? ????? ?????????????.

Artinya: “Sungguh tidak diperkenankan bagi orang-orang mukmin pergi secara semua untuk berjihad, namun wajib bagi mereka untuk terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok melayani Rasulullah saw dan satu kelompok lagi pergi berperang. Sebab, pada waktu itu Islam membutuhkan kekuatan untuk berperang dan berjihad melawan orang-orang kafir. Di sisi lain, wahyu tentang tatanan hukum agama juga terus turun sehingga wajib juga bagi orang-orang muslim untuk senantiasa di samping Rasulullah saw guna belajar ilmu agama, menghafalnya, kemudian menyampaikannya pada orang-orang yang tidak mengetahuinya.” 

Keperluan memberikan pengetahuan agama kepada orang-orang yang tidak mengetahui tercermin dalam perintah Rasulullah saw kepada Abi Sulaiman Malik bin Huwairits setelah belajar kepada beliau selama 20 Hari:

????????? ????? ???????????? ?????????????? ???????????? ????????? ????? ?????????????? ????????? ??????? ???????? ??????????? ????????????? ?????? ??????????? ????? ????????????? ????????????

Artinya: “Kembalilah kepada keluargamu, ajarilah dan perintahlah mereka, shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat. Ketika tiba waktu shalat, maka azanlah salah satu di antara kalian semua, lalu jadikan imam yang tertua di antara kalian semua.”

Ulama kemudian menyimpulkan bahwa menyebarkan ilmu agama merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) dengan arti kewajiban tersebut gugur dengan adanya beberapa orang yang sudah melakukannya.

????????????? ?????????? ????????? ???????? ??????????? ?????? ?????????????? ????? ????????? ?????????? ??????????? ????? ?????? ???? ???? ?????????? ?????????????? ???????? ??????? ??????? ????????? ????????????? ????? ?????? ???? ????????? ???? ?????????? ???????????? ???????? ????? ????????? ??????????? ???????????? ?????????? ???????? ??????? ????? ??? ??? ????? ??????

Artinya, “Macam fardu kifayah banyak, di antaranya menyampaikan argumentasi keagamaan yaitu dalil-dalil tentang wujud Allah Sang Maha Pencipta, sifat wajib, mustahil dan jaiz bagiNya, dalil tentang kenabian dan informasi yang datang dari syariat seperti hari kiamat, hari hisab dan lain sebagainya. Termasuk fardu kifayah adalah mengajarkan ilmu syariat seperti tafsir, hadits dan fiqh yang melebihi kadar kewajiban individu.” 

Kewajiban menyebarkan ilmu agama dapat dilakukan melalui berbagai media dalam menyampaikan informasi dan tidak hanya terbatas pada penyampaian secara lisan. Media tulisan juga termasuk perwujudan dari kewajiban ini. Dalam Asybah wan Nadhair, Imam As-Suyuthi, menyatakan:

?? ???? ???????? ???????????? ... ?????????: ????????? ?????????. ??????? ??????? ??????????? ??? ??????? ???????????? ??????? ?????????????? ??? ???????????: ???? ?????? ????????????: ????????? ????????? ?????? ???????? ??????? ??????? ????????????? ?????? ??????? ?????? ?????????? - ???? ?????? ???????????? - ??? ??????????? ????????? ??? ???????????? ??????????????. ???????????: ??? ??????? ???????? ?????? ?????? ???????????? ????????? ????????? ????? ????????

Artinya, “Termasuk dari kewajiban kolektif ialah menyusun kitab-kitab sebagaimana diisyarahkan oleh al-Baghawi dalam bagian awal kitab Tahdzib. Imam az-Zarkasyi di dalam kitab qawaidnya: ‘termasuk dari kewajiban kolektif adalah kewajiban menyusun kitab bagi orang-orang yang dianugerahi Allah kefahaman dan pengetahuan agama. Umat ini senantiasa –dengan rentang usia yang semakin pendek- bertambah dalam anugerah, pemberian, dan ilmu maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menyembunyikan pengetahuan agama. Dengan tidak adanya karya tulis, ilmu tidak akan sampai kepada manusia.” 

Apa yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi relevan sekali pada era sekarang, dimana media digital menjadi alat utama dalam pencarian informasi mengenai berbagai macam hal tak terkecuali ilmu agama. Maka, sudah sepatutnya pengisian ruang-ruang digital dengan konten-konten keagamaan oleh orang yang kredibel menjadi kewajiban kolektif bagi umat muslim.

Kewajiban menyebarkan ilmu agama harus diikuti dengan adanya kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam menyampaikan ilmu agama. Hal ini menjadi konsekuensi logis agar ilmu yang disampaikan sesuai dengan tuntunan agama itu sendiri. Maka dalam fikih haram hukumnya untuk bertanya permasalahan agama atau berpegang pada keterangan dalam buku atau kitab dari seseorang yang tidak diketahui kredibilitasnya.

(????????? ???????????? ???? ?????? ????????????????) ????????????? (???? ?????) ??????? ???? (?????????????? ??????????? ??????????????). ????? ??????? ????? ?????????? (?????????????? ?????????? ?????????????) ????. ????? ??????? ????? ????????? (??? ????????????) ??????? ???? ?????????? ????? ??????? ??????????????? ?????? ????????? ?????????

Artinya, “Dan boleh meminta fatwa kepada orang yang diketahui atau diduga kepakarannya dalam berfatwa dengan kemasyhuran kredibiltas ilmu dan kesalehan personalnya, dan diangkatnya dia sebagai mufti yang menjadi rujukan fatwa. Bukan orang yang tidak jelas ilmu dan kesalehan personalnya, maka tidak boleh meminta fatwa kepadanya karena hukum asalnya ia tidak memiliki kredibilitas.”

Ulama menegaskan, diperbolehkan berpegangan kepada kitab fiqh yang sahih/valid. Diperbolehkan pula berpegangan kepada tulisan seorang mufti yang kredibel.

???????? ??????????????? ???? ????? ????????? ????????????????? : ???????????? ????? ??????? ????????? ???? ????????? ??????????????? ? ????? ?????????? ????????? ????????? ???? ????????????? ???????? ????????? ????????????? ????? ????? ?????????? ??????? ???? ?????????? : ??????? ????????????? ????? ?????????? ? ?????????????? ???????

Artinya, “Imam As-Suyuthi mengutip dari Abu Ishaq Al-Isfirayini perihal konsensus ulama atas kebolehan mengutip dari kitab yang dibuat pegangan, dan tidak disyaratkan bertemunya sanad kepada pengarangnya. Dan boleh berpegangan kepada tulisan muftí karena mengambil ucapan ulama, boleh berpegangan kepada isyarat muftí, maka tulisan lebih utama.” 

Dengan berbagai pendekatan tersebut, pengembangan basis data ilmu keagamaan dalam AI NLP adalah kewajiban kolektif sebagai media untuk menyampaikan hukum keagamaan secara kredibel. Sebab, AI NLP sangat bergantung pada kelengkapan dan kesahihan data teks sebagai input trainingnya.

Di sisi lain, dalam realitas AI NLP masih ditemui beberapa problematika dalam teknisnya. Di antaranya adalah: hallucination (mengada-adakan jawaban, menciptakan fakta baru padahal tidak benar adanya), bias anti-Islam yang kental yang mana problem-problem ini akan menyebabkan misinformasi tentang agama yang berbahaya.  Dari pertimbangan seperti ini, pengembangan dan perbaikan AI NLP secara terus-menerus adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) dalam rangka menghilangkan misinformasi agama(daf’u syubhah).

Baca Juga: Benarkah Larangan Memulai Usaha di Bulan Maulid? Ini Kata Buya Yahya

E. Rekomendasi

  1. Kepada masyarakat agar merujuk kepada pakar agama yang otoritatif dalam permasalahan agama.
  2. Kepada pakar agama agar berperan aktif mengisi konten keislaman di ruang digital.
  3. Kepada PBNU dan pakar IT kaum Nahdiyin agar mengembangkan AI NLP berbasis Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdiyah.

Pembahasan Munas Alim Ulama NU ini ditetapkan di Jakarta pada 19 Rabiul Awal 1445 H/ 18 September 2023 M.

Tim Perumus:

Ketua                  : KH. Hasan Nuri Hidayatulloh, MA (PBNU)

Sekretaris            : Dr. KH. M. Afifuddin Dimyati, Lc., MA (PBNU)

Anggota               : KH. Aniq Muhammadun (PBNU)

Ahmad Sadid Jauhari (PBNU)

Dr. KH. Najib Bukhori, MA. (PBNU)

Darul Azka (PBNU)

Dr. Ny. Hj. Ala’i Najib, MA (PBNU)

Ny. Hj. Ummi Atikah (PBNU)

Kiai M Mubasysyarum Bih, S.H. (PBNU)

Kiai Ahmad Muntaha AM, S.Pd. (PBNU)

Kiai Zidni Ilman NZ, S.Fils., M.Pd. (PBNU)

Kiai Ahmad Fuad (PBNU)

Muhibbul Aman Ali (PWNU Jawa Timur)

Zahro Wardi (PWNU Jawa Timur)

Busyro Mustofa (PWNU Jawa Tengah)

Habibul Huda (PWNU Jawa Tengah)

Kiai Ghufroni Masyhuda (PWNU Jawa Barat)

Umar Faruq (PWNU Jawa Barat)

 

 

 

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita