Ngaji Filsafat

Mendengarkan “Pekikan” Al Faqih Al Andalusi

KH Abdul Ghofur Maimoen.

BOYANESIA.REPUBLIKA.CO.ID -- Di Kordoba Andalusia, seorang lelaki berumur 26 tahun melayat jenazah di sebuah Masjid. Ia duduk tanpa melakukan sholat dua rakaat tahiyyatul masjid. Seorang mengingatkannya, “Berdiri! sholatlah dua rakaat .” Ia pun berdiri dan sholat dua rakaat.

Usai mengantar jenazah, ia kembali ke masjid untuk menghormati ahlul mayyit. Ia sholat dua rakaat sebelum duduk sesuai dengan ajaran yang ia terima. Akan tetapi, ia kembali diingatkan, “Duduk..duduk! Sekarang ini bukan waktunya sholat!” Saat itu mereka telah menjalankan sholat Asar.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

[Dalam ajaran Malikiyah yang mendominasi Andalusia, tidak boleh salat tahiyyatul masjid setelah salat Asar. Berbeda dengan ajaran Syafiiyyah yang tetap menganggapnya sunnah meski dilakukan di waktu-waktu kar?hah karena masuk dalam kategori salat yang memiliki sabab muq?rin.][1]

Baca Juga: Rapor Baik Tata Kelola Kementerian Agama

Ia pulang dengan membawa kesedihan. Ia berkonsultasi dengan guru spiritualnya, lalu pergi belajar kepada seorang fakih bernama Abdullah bin Da???n. Kepada guru barunya ini, ia menceritakan pengalamannya mengenai salat tahiyyatul masjid. Ibn Da???n memberi saran kepadanya untuk belajar Al Muwa??a'.

Ini adalah kitab pertama yang ia pelajari, dan dia membacanya di depan beliau. Sejak itu, dia memfokuskan diri belajar ilmu-ilmu agama, baik kepada Ibn Da???n maupun kepada lainnya. Setelah tiga tahun dia "mengurung diri," mulailah ia menyampaikan gagasan-gagasan dan juga kritik-kritiknya.[2]

Lelaki itu adalah Ali bin Ahmad bin Said Ibn Hazm, filsuf dan faqih dari Andalusia (384--456 H.). Ia sering dijadikan argumen bahwa belajar bisa dimulai saat usia tak lagi muda. Pernyataan ini sepenuhnya benar, akan tetapi perlu kiranya juga melihat bahwa sebelumnya Ibn Hazm telah menjadi orang penting di Andalusia. Tidak sebagai seorang faqih, akan tetapi sebagai intelektual dan praktisi pemerintahan.

Baca Juga: Kisah Singkat Sunan Gresik yang Cocok Diceritakan pada Anak Sebelum Tidur

Ini perlu disampaikan karena proyek keagamaan Ibn Hazm jauh lebih luas dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tahiyyatul masjid. Banyak hal dalam proyek keagamaannya tampak justru dipengaruhi oleh pengalamannya saat di pemerintahan, terutama saat menjabat sebagai al waz?r (yang mungkin setara dengan perdana menteri untuk sekarang ini).

Keberaniannya dalam melakukan kritik dan kesulitannya dalam mengekang lidah tampaknya—selain perosalan-persoalan subjektivitas dirinya—setara dengan keresahannya terhadap umat Islam Andalusia yang ia pandang sedang berjalan menepi dari gelanggang peradaban. Sudut pandang seperti ini tentu saja merupakan buah dari pengalamannya yang lama di pemerintahan.

Salah satu contoh ketajaman penanya adalah apa yang dikutip oleh Imam A? ?ahabiyy dalam “Siyar A'l?m al Nubal?`”: "Benar-benar skandal!! Empat tokoh dalam jarak tiga hari perjalanan, yang masing-masing bergelar 'amirul mukminin’ … Ini sungguh perilaku yang tak pernah terdengar padanannya sebelum ini."[3]

Baca Juga: Kumpulan Hadits: Cara Tidur dan Berbaring ala Rasulullah Lengkap dengan Doanya

Pekikan Ibn Hazm tidaklah berada di ruang hampa. Ia mewakili kekhawatiran banyak kalangan terhadap Andalusia Islam. Thulaithila (Toledo) yang berjarak 314 kilometer. dari Kordoba, tempat Ibn Hazm berpijak, terlepas dari tangan umat Islam tahun 478 H.

Setelah itu, umat Islam semakin lemah di Andalusia, dan sampai pada titik krusialnya saat Kordoba itu sendiri jatuh pada tahun 633, sebelum sampai di penghujung ketak-berdayaannya dengan ambruknya Grenada.

Dalam pengembaraannya di bidang keilmuan, imam besar dalam Mazhab Dzahiri ini telah meninggalkan karya-karya penting. Ia disebut sebagai ulama paling produktif dalam melahirkan karya tulis setelah Imam A? ?abariyy.

Putranya, Ab? R?fi' Al Fa?l, mengatakan bahwa karya ayahnya di bidang fikih, Hadis, ushul, sejarah, an ni?al wa al milal, adab, dan lain sebagainya mencapai kira-kira 400 mujallad yang menghabiskan hampir delapan puluh ribu lembar kertas.[4]

Salah satu karyanya yang mudah saya sentuh dan pahami adalah Al Mu?all?, lengkapnya “Al Mu?all? bi al ???r Syar? al Mujall? bi al Ikhti??r. Kitab ini sangat masyhur, bahkan dalam sejumlah kalangan Ibn Hazm sendiri lebih dikenal dengan karyanya ini.

Baca Juga: Viral Carok Massal, Ini Penyebab Terjadinya Kasus Carok di Madura

Karya ini sangat monumental sehingga ia sah disebut sebagai imam sekaligus penyebar Mazhab Zahiri paling populer. Selain pendapat-pendapatnya, kitab ini memuat kekayaan fikih karena menyitir berbagai pendapat tidak saja dari Mazahib Arba’ah akan tetapi juga pendapat-pendapat dari ulama-ulama salaf lainnya.

Ada sejumlah masalah di dalam Al Mu?all? yang dapat diajukan sebagai contoh kepribadian intelektual serta pemberontakannya.

Salah satunya adalah masalah sholat wanita di masjid. Saat mayoritas umat Islam menyampaikan bahwa wanita lebih baik salat di rumahnya daripada di masjid, ia dengan lantang mengatakan sebaliknya: wanita sebaiknya salat di masjid. Berita-berita tentang wanita yang ikut berjamaah salat di masjid pada era Nabi dan era Sahabat begitu terkenal sehingga mencapai derajat mutawatir.

Baca Juga: Viral Cellos Botak Ajak Presiden Jokowi Selebrasi Siu ala Cristiano Ronaldo

Aisyah meriwayatkan bahwa parempuan-perempuan ikut salat Subuh bersama Rasulullah Saw. Mereka pulang dengan menutupi kepala dan tubuhnya dengan semacam kain selimut, tak ada yang mengenalinya karena keadaan masih gelap[5]; Nabi menyampaikan bahwa beliau bermaksud memanjangkan bacaan salat, akan tetapi beliau mendengar tangisan anak sehingga mempercepat salatnya.

Beliau khawatir ibunya terganggu[6]; Sahl bin Sa’d meriwayatkan bahwa sejumlah lelaki mengikatkan sarungnya pada leher saat salat bersama Rasulullah Saw. Seseorang mengatakan, “Wahai para perempuan, jangan angkat kepalamu sampai kaum lelaki telah mengangkat (kepalanya).”[7]

Menurut Ibn Hazm, Tak mungkin Rasulullah Saw. membiarkan kaum perempuan memperberat diri hadir di masjid jika itu semua justru mengurangi pahala salatnya. Rasulullah—sebagaimana dalam QS. At Taubah: 128—adalah seorang nabi yang merasa berat melihat penderitaan umatnya dan sangat menginginkan kebaikan untuknya.

Baca Juga: Dua Macam Ubudiah Manusia dalam Mencapai Makrifatullah

Beliau—sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al ‘?sh—juga mengatakan, “Tidak ada satupun seorang nabi sebelum diriku, kecuali wajib bagi dia untuk menunjukkan umatnya terhadap yang baik tentang apa yang dia ketahui, dan memperingatkannya dari keburukan tentang apa yang dia ketahui.”[8]

Rasul Saw.—dengan predikat seperti itu—pasti melihat sesuatu yang positif perempuan menghadiri jamaah di masjid sehingga membiarkannya bersusah payah menghadirinya. Jika wanita dianggap fitnah bagi masyarakat, tentu mereka akan dilarang ke pasar dan jalanan.

Akan tetapi, kenapa itu semua dipersilahkan dan hanya masjid saja yang menjadi objek larangan? Abu Hanifah bahkan memperbolehkan perempuan bepergian sendirian, dan melakukan perjalanan pada jarak dua hari setengah.[9]

Baca Juga: Georgina: Cristiano Ronaldo Luar Biasa dalam Segala Hal
Membaca Ibh Hazm tidak saja kita menemukan argumentasi-argumentasi, akan tetapi juga luapan emosi. Dahulu, ini adalah salah satu yang menjadikan tulisan-tulisannya tak digemari, akan tetapi sekarang yang demikian ini tampaknya justru bagian dari daya tariknya.

Pendapat Ibn Hazm ini sering hadir dalam benak diri saat melihat ibu-ibu pergi ke masjid, terutama saat di Makkah dan Madinah. Saya melihat beberapa ibu-ibu justru tampak lebih rajin ke masjid ketimbang bapak-bapak saat di sana. Membaca pendapat Ibn Hazm rasanya merasa terbantu secara spiritual. Rasanya tak tega, melihat ibu-ibu datang ke Makkah dan Madinah lalu dianjurkan untuk salat di kamar hotel.

Tentu harus disampaikan bahwa ke masjid tujuannya adalah untuk beribadah. Ibn Hazm sangat tegas mengenai etika ke masjid ini. Wallaahu a’lam.

Baca Juga: Sandiaga Sambut Baik Wisatapreneur Masjid Pantai Bali yang Rahman Lil Alamin

[1] Muhammad bin ?am?d al W?`iliyy, Bu?yah al Muqta?id Syarh Bid?yah al Mujtahid li Ibn Rusyd al ?af?d, juz 3, hal. 1130—1131; al Im?m An Nawawiyy, Al Majm?’ Syarh al Muha??ab, juz 4, hal. 168.
[2] A? ?ahabiyy, Siyar A’l?m an Nubal?`, juz 18, hal. 199; ?al?? ad D?n Khal?l A? ?afadiyy, Al W?f? bi al Wafiyy?t, juz 20, hal. 95.
[3] A? ?ahabiyy, Siyar A’l?m an Nubal?`, juz 17, hal. 529.
[4] Al Waz?r Jam?l ad D?n al Qif?iyy, Ikhb?r al Ulam?` bi Akh?r al ?ukam?`, hal. 156
[5] Al Bukh?riyy, Al J?mi’ A? ?a???, juz 1, hal. 296; Muslim, ?a??? Muslim, juz 1, hal. 446.
[6] Al Bukh?riyy, Al J?mi’ A? ?a???, juz 1, hal. 250; Muslim, ?a??? Muslim, juz 1, hal. 343.
[7] Muslim, ?a??? Muslim, juz 1, hal. 326.
[8] Muslim, ?a??? Muslim, juz 3, hal. 1472.
[9] Al Mu?all?, juz 3, hal. 519.

Penulis: Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Rembang, KH Abdul Ghofur Maimoen

 

Berita Terkait

Image

Mengapa Orang Mengkafirkan Filsafat?

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita