Agama

Waliyah Zainab, Satu-Satunya Wali Perempuan di Indonesia

Makam Waliyah Zainab di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Gresik
Makam Waliyah Zainab di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Gresik

BOYANESIA -- Penyebaran Islam Indonesia, khususnya di Pulau Jawa tidak terlepas dari peranan wali songo. Wali sembilan ini menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai cara, seperti lewat kebudayaan maupun lewat pendidikan. Namun, ada seorang waliyah yang juga turut menyebarkan Islam di Indonesia, khusus di Pulau Bawean, Gresik.

Dia dikenal sebagai Waliyah Zainab. Berdasarkan keterbatasan pengetahuan penulis, Waliyah Zainab merupakan satu-satunya perempuan yang dianggap wali di Indonesia. Dia menjadi salah satu pendakwah yang menyebarkan Islam di Pulau Bawean.

Berdasarkan cacatan yang berkembang selama ini, Islam masuk ke Pulau Bawean pada abad ke-16. Dalam buku berjudul "Bawean dan Islam", Jacob Vrendenbergt mencatat, Islam masuk ke Pulau Bawean sejak 1511 Masehi. Selanjutnya, para pendakwah datang ke Bawean secara insedental.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Setidaknya ada tiga tokoh penyebar Islam di Pulau Bawean, yaitu Sunan Bonang (1465-1525), Waliyah Zainab (1580), dan Syekh Maulana Umar Mas’ud (1601-1630). Namun, catatan sejarah tentang para kekasih Allah ini terdapat banyak versi.

Dalam buku “Pesantren Hasan Jufri dari Masa ke Masa”, Ali Asyhar menjelaskan, Wali Zainab adalah cucu dari Sunan Sendang Dhuwur Paciran Lamongan yang menikah dengan cucu Sunan Giri yang bernama Pangeran Sedo Laut.

Waliyah Zainab awalnya datang ke Pulau Bawean bersama suami dan kerabatnya. Namun, sayangnya suami dan kerabatnya meninggal dunia di tengah laut setelah perahunya tenggelam. Dari musibah itu yang selamat hanya dua orang, yaitu Waliyah Zainab dan seorang pembantunya yang bernama Mbah Rumbut.

Melansir dari laman resmi Disparbud Gresik, Waliyah Zainab dikenal juga sebagai Dewi Wardah. Dia adalah putri Kiai Ageng Bungkul atau dikenal dengan Sunan Bungkul, salah seorang Pembesar Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit.

Dewi Wardah kemudian dinikahkan oleh Sunan Bungkul dengan Raden Paku (Sunan Giri). Namun, karena Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan ampel dan karena Dewi Wardah tidak ingin dimadu, maka dia pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki “Sentong” atau kelopak bunga kelapa.

Setelah melakukan perjalanan laut, sampai lah Dewi Wardah ke Pulau Bawean. Namun, saat tiba di Desa Kumalasa, dia mendapat penolakan dari penduduknya. Akhirnya, dia menetap di desa Diponggo, yang berada di sebelah utara Pulau Bawean.

Riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah juga tertulis di daun lontar yang berbahasa Arab-Pegon di Museum Sultan Hasanuddin, Banten. Dalam keterangannya diceritakan tentang kehidupan Dewi Wardah yang akhirnya wafat dan dikuburkan di belakang Masjid Diponggo yang terletak di Desa Diponggo. Dari beberapa referensi tentang kedatangannya, Waliyah Zainab mendarat di Bawean diperkirakan lebih awal dibandingkan dengan kedatangan Syekh Maulana Umar Mas’ud.

Dalam buku “Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Islam di Pulau Bawean”, Dhiyauddin Qushwandhi menjelaskan bahwa Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajaran Syeikh Siti Jenar.

Makam Waliyah Zainab kini menjadi tempat yang paling banyak diziarahi oleh masyarakat Bawean. Makam Waliyah Zainab ini terletak di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak. Bahasa masyarakat Bawean Diponggo sendiri berbeda dengan bahasa Bawean pada umumnya. Bahasa mereka lebih mirip bahasa Jawa yang digunakan Waliyah Zainab.

Kirab Pusaka

Masyarakat Diponggo sampai saat ini masih menggelar tradisi yang diwariskan Waliyah Zainab, yaitu Kirab Pusaka dengan berkeliling kampung. Melalui tradisi ini, masyarakat Diponggo berharap bisa menolak bala’, termasuk wabah Covid-19 yang tengah melanda Indonesia.

Dalam tradisi ini, masyarakat Diponggo mengirabkan pusaka Waliyah Zainab, berkeliling kampung sembari membaca doa-doa dan dzikir kepada Allah SWT. Di setiap persimpangan jalan desa, para peserta kirab berhenti untuk melantunkan adzan. Mereka berkeliling desa mulai dari Masjid Diponggo dan berakhir di masjid yang berdekatan dengan makam Waliyah Zainab tersebut.

Kepala Desa Diponggo, Muhammad Salim menjelaskan, tidak ada yang mengetahui kapan tradisi kirab pusaka ini dimulai karena memang tidak ada peninggalan secara tertulis. Menurut dia, Kirab Pusaka atau //Puhayale// ini hanya diwariskan dari generasi ke generasi masyarakat Diponggo.

“Tapi yang pasti kirab ini sudah secara turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat Diponggo, kemungkinan besar sejak zaman Mbah Waliyah Zainab,” ujar Salim.

Juru Tulis: Muhyiddin Yamin

Berita Terkait

Image

Wisata Unik di Pulau Bawean, Batu Berbentuk Hidung Manusia

Image

Kisah Suku Bawean Naik Haji Lewat Singapura

Image

Pelajar Bawean Belajar Jadi Konten Kreator yang Berfaedah

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita