Pukulan, Olah Raga Tinju Khas Bawean
BOYANESIA – Orang Bawean zaman dulu terkenal dengan kesaktiannya, khususnya dalam ilmu bela diri. Setidaknya pendekar dari suku Bawean memiliki dua jenis pendekar, yaitu pendekar silat dan pendekar pukulan.
Tenkis yang paling banyak dipakai di kalangan pendekar silat biasanya menggunakan pedang. Silat Bawean memiliki perbedaan dengan silat di daerah lainnya. Di Pulau Jawa, biasanya silat mengutamakan ketangkasan dan gerakan indah serta unsur permainan.
Sebaliknya, pencak silat di Bawean justu yang paling penting adalah hasrat untuk menang dan dengan demikian mempertinggi gengsi. Kalau mendapat kesempatan untuk memukul lawannya maka hal ini akan dilaksanannya. Akibatnya, dalam silat Bawean zaman dulu tidak jarang terjadi cedera bahkan kematin.
Beda lagi dengan pendekar pukulan di Bawean. Dalam bukunya yang berjudul “Bawean dan Islam”, Jacob Vredenbreg menyebut pukulan sebagai olahraga tinju Bawean yang menggunakan tangan tanpa sarung dengan pukulan yang keras.
Antroplog asal Belanda ini menuturkan, setiap pendekar pukulan mempunyai sekelompok murid pada masa sepi. Jadi, setelah masa panen dan sewaktu musim barat, jika nelayan menganggur karena cuaca buruk, sang pendekar baru memberikan latihan pukulan setiap malam.
Istilah lainnya dari silat pukulan ini adalah “Maen”. Sampai sekarang, masih ada beberapa pendekar di Bawean yang mengajarkan Maen (Permainan), khususnya kepada remaja Bawean yang kelak akan merantau ke Tanah Jawa. Biasanya pemuda Bawean belajar Maen di rumah gurunya langsung. Setelah lulus latihan, kemudian sang murid menggelar “selamatan” dengan mengundang murid-murid lainnya.
Menurut kepercayaan rakyat, seorang pendekar memiliki ilmu yang sudah mendalam. Artinya, ia penuh kekuatan gaib dan kekebalan. Menurut Jacob, kalau pendekar Bawean sedang tidur dan ada orang yang mau membangunkannya, maka sama sekali tidak boleh memegang tangan atau kakinya, karena dalam keadaan tidur pun sang pendekar akan senantiasa siap siaga. Jika mau membangunkannya, seseorang harus memanggilnya dari jarak tertentu sampai ia terbangun.
Jacob mengungkapkan, prestise seorang pendekar juga seringkali sangat luas sampai jauh di luar batas-batas desanya. Adakalanya, ia terkenal di seluruh pulau, bahkan juga di luar Pulau Bawean. Ia ditakuti karena kekuatan fisiknya. Ia seringkali menengahi pertikaian dan polisi pun bersahabat dengannya. Dalam banyak hal ia menjadi orang kepercayaan polisi.
Selain itu, lanjut Jacob, perkelahian antar pendekar kadang-kadang juga terjadi. Kalau seorang pendekar terlalu membanggakan kekuatannya sendiri, maka hal itu dianggap sebagai provokasi. Karena itu, masyarakat di desa lain yang mempunyai pendekar tersohor memaksakan pendekarnya untuk menantang pendekar yang provokatif itu. Kalau tidak, ia akan kehilangan gengsi.
Perkelahian demikian, kata Jacob, seringkali merupakan soal hidup atau mati. Seorang pendekar yang kalah akan malu terhadap muridnya dan desanya, sehingga ia sebenarnya tidak dianggap pendekar lagi. Karena itu, perkelahian antara pendekar ini membawa risiko yang besar, sehingga jarang terjadi.
Jacob mengatakan, perkelahian seperti itu biasanya juga didahului dengan kampanye magis yang meluas, yang memerlukan bantuan tokang seher (tukang sihir) yang terkenal di kedua belah pihak. Suasana dalam pertarungan seperti ini sering kali sangat tegang, sebab gengsi desa memainkan peranan pula.
“Yang sangat tersohor adalah kefanatikan kaum wanita dari desa K.T., yang pada perkelahian pendekarnya selalu membawa kain kafan yang diperlihatkan kepadanya selama pertarungan berlangsung. Pendekar bersangkutan diharapkan mendapat semangat yang lebih besar dari tindakan ini untuk menang,” tulis Jacob.
Jangan lupa klik follow Boyanesia di bawah ya guys
Jurus Tulis: Muhyiddin Yamin