Ponthuk, Kisah Orang Bawean di Singapura
BOYANESIA -- “Orang Phebien”, sebuah istilah yang langsung dikenal masyarakat Bawean sebagai nama asli yang mereka gunakan untuk menyebut diri mereka sendiri. Istilah itu digunakan sebelum akhirnya diubah menjadi “Bawean” oleh Belanda.
Belakangan, istilah “Boyan” yang digunakan oleh masyarakat Singapura dan Malaysia kemudian diasosiasikan dengan stereotip negatif. Karena itu, masyarakat Bawean sekarang lebih suka menyebut diri mereka orang Bawean, yang membentuk hubungan yang kuat dengan Pulau Bawean di Indonesia di mana para pemukim asli dulu berasal.
Dilansir dari artsequator, pada 2020 lalu The Arts House dan Persatuan Bawean Singapura (Baweanese Association of Singapore) telah melakukan wawancara untuk mengungkapkan lebih banyak tentang orang Bawean di Singapura, yang kehadirannya telah tercatat sejak 1837.
Di antaranya, mereka membahas tentang pentingnya “ponthuk” bagi orang Bawean (rumah komunal yang dikenal sebagai “pondok” dalam bahasa Indonesia). Pada masa awal di Singapura, di ponthuk itu lah orang Bawean tinggal. Selain itu, mereka juga mengisahkan bagaimana kehidupan masyarakat Bawean setelah hilangnya ponthuk tersebut.
Baca juga: Cerita Pelaut Majapahit Saat Temukan Pulau Bawean
Lalu bagaimana kisah orang Bawean di Singapura? Seberapa penting ponthuk bagi orang Bawean?
Berikut petikan wawancara Artsequator bersama anggota komite Persatuan Bawean Singapura, Morni Sulaiman (70-an tahun):
Artsequator: Bisakah diceritakan lebih banyak tentang darah Bawean Anda?
Pak Morni: Ayah saya, Sulaiman berasal dari Bawean. Dia adalah orang Bawean Singapura generasi pertama. Ibu saya, Rahmah Binti Abdullah, lahir di Singapura. Dia keturunan Cina. Dia diadopsi oleh pasangan Bawean.
ArtsEquator: Seberapa dekat perasaan Anda dengan Bawean?
Pak Morni: Meskipun saya tidak tinggal di ponthuk, tetapi saya memiliki banyak kerabat yang tinggal di berbagai ponthuk di Singapura. Dan orang tua dan kakek nenek saya, mereka biasa berbicara dalam bahasa Bawean dengan campuran bahasa Melayu ketika kami di rumah. Jadi saya mengerti bahasa Bawean. Saya juga berkesempatan untuk mengamati beberapa budaya dan tradisi yang diamati oleh masyarakat, serta berbagai fungsi yang ada di ponthuk.
Ketika ada pernikahan, biasanya orang akan menyelenggarakannya di ponthuk bukan di rumah masing-masing, karena sebagian dari mereka tinggal di tempat yang disediakan oleh bos mereka. Ketika datang ke pernikahan atau ketika seseorang meninggal, mereka akan melakukan kegiatan di ponthuk dengan bantuan kepala desa, atau biasa kita sebut pak lurah.
ArtsEquator: Aspek budaya Bawean apa yang ingin Anda bagikan dengan orang lain?
Pak Morni: Saya suka berbagi tentang apa yang orang Bawean sebut sebagai “a polong-polong, nolong-nolong”. Dalam bahasa melayu artinya gotong royong. Atau dalam bahasa Inggris artinya “Mutual help”. Masyarakat Bawean sangat erat. Tradisi ini sebenarnya dimulai sejak kecil ketika mereka berada di Pulau Bawean.
Pada usia muda, anak-anak dikirim ke guru agama untuk belajar tentang Islam. Mereka hidup bersama dan mereka saling membantu dan memahami satu sama lain dengan lebih baik. Kebiasaan itu terus berlanjut selama masa pertumbuhan mereka. Sehingga ketika mereka datang ke Singapura, mereka menjaga semangat gotong royong dan kebersamaan itu.
Gotong royong ini tercermin jelas dalam sistem ponthuk. Sistem ponthuk adalah satu-satunya sistem dalam komunitas Melayu yang memiliki bantuan kesejahteraan sosial semacam ini, seperti halnya Cina di mana Anda memiliki kongxi atau klan Cina.
Dan saya juga suka berbagi tentang betapa hematnya orang Bawean. Beberapa dari mereka bekerja sebagai tukang kebun, sopir, namun ibu rumah tangga, mereka dapat menghemat uang. Seorang teman saya menceritakan kepada saya bahwa selama Pendudukan Jepang, ketika mata uang pisang digunakan, ibu teman saya menggunakannya untuk membeli emas. Begitulah visioner mereka. Mereka tahu bahwa meskipun nilai mata uang bisa hilang, kilau emas akan tetap bertahan.
ArtsEquator: Apa saja tantangan ketika mencoba berbagi atau mendidik orang tentang budaya dan komunitas Bawean?
Pak Morni: Dengan hilangnya ponthuk, masyarakat juga kehilangan ikatan fisik itu, meski bukan semangat gotong-royong. Beberapa kegiatan budaya yang biasa dilakukan pada masa ponthuk misalnya seperti hadrah (nyanyian rohani), kompang (ansambel perkusi), samrah (nyanyian rohani diiringi rebana) kercengan (bentuk khusus dari hadrah). Namun, sekarang cukup sulit untuk melihat kegiatan seperti itu dilakukan di depan umum.
Satu-satunya kegiatan budaya yang masih aktif di Singapura adalah pencak silat (seni bela diri). Persatuan Bawean berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupkan kembali beberapa kegiatan budaya ini, dengan bantuan instruktur dari Indonesia atau Malaysia.
ArtsEquator: Apa harapan Anda untuk orang-orang yang membaca ini?
Pak Morni: Saya berharap orang akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang komunitas Bawean, dan akan ada lebih banyak kesempatan di masa depan untuk belajar tentang sub-kelompok lain di Singapura. Ibarat pelangi beraneka warna, semakin kita mengenal ragam budaya, persamaan, perbedaan di antara masyarakat Nusantara – suku Bawean, Jawa, Minangkabau, Bugis – semakin kita lihat ragamnya, semakin indah boleh jadi.
Sumber: ORANG PHEBIEN: TELLING THE STORY OF THE BAWEANESE
Baca juga:
Boyan, Panggilan Suku Bawean di Singapura dan Malaysia