Serba Serbi

Strategi Terzalimi untuk Mendulang Simpati Publik


Terbaru, polemik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ‘seolah’ meminggirkan Ganjar Pranowo. Sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan PDIP mengesankan upaya untuk memastikan sosok Puan Maharani sebagai pilihan dan Ganjar coba diabaikan. Sebagai sosok yang digadang-gadang menjadi calon presiden, langkahnya sempat disebut-sebut terganjal restu Ketua Umum Megawati dan para elite partai. Bahkan Ganjar dianggap lancang karena bertindak di luar komando pimpinan. Saat itulah, justru simpati dan dukungan pada Ganjar meninggi. Para pendukung paling menonjol—termasuk kelompok-kelompok yang secara terbuka menyatakan sebagai ‘’Ganjarist’’—adalah mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi.

Limpahan simpati tersebut semakin menguat saat Jokowi memberikan sinyal yang mengarah kepadanya di agenda silaturahmi relawan tahun lalu. Media berhari-hari membicarakan kriteria ‘rambut putih dan banyak kerutan’ sebagai ciri calon presiden penerus Jokowi. Ciri-ciri fisik diungkapkan Jokowi dalam pertemuan dengan para relawan tersebut. ‘’Kalau dahi banyak kerutan, itu artinya mikirin rakyat,’’ kata Jokowi.

Bagi pendukunnya, citra Ganjar yang lahir dari kalangan biasa dianggap sebagai suksesor dari Jokowi paling ideal. Sementara sebaliknya, Puan Maharani yang mewarisi trah Bung Karno lebih sebagai representasi kaum elite. Upayanya untuk menguatkan publikasi kegiatan-kegiatan ‘’merakyat’’ seperti nandur atau tanam padi, malah jadi bumerang. Beberapa kali aksinya kerap disentil akibat kekakuannya dalam berbaur di tangah masyarakat. Citra sosial dan kulturalnya sulit untuk diubah dalam sekejap hanya melalui media sosial.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di titik ini, Puan sebenarnya juga sempat menjadi ‘yang teraniaya’. Di media sosial ia dirundung. Belum lama, ia bahkan seolah dengan nelangsa menyatakan kebingungannya. ‘’Merasalah (banyak orang tak suka). Bingung juga, nggak tahu kenapa. Kayaknya sudah berusaha kerja benar, turun ke bawah, kemudian kerja ke lapangan," katanya di sebuah acara televisi.

Pertanyaannya, mengapa citra teraniaya, terpinggirkan, korban bekerja dengan baik menaikkan popularitas dan elektabilitas sejumlah tokoh—seperti SBY pada masanya, atau Ganjar saat ini—tapi hampir tidak berarti banyak pada tokoh lainnya?

Tentu, banyak hal bisa dikatakan untuk mengurai jawaban atas pertanyaan di atas. Tapi jika disederhanakan, kita bisa mengambil Pertama, simpati publik pada tokoh teraniaya tidak semata muncul karena adanya peta opisisi biner antagonis-protagonis. Psikologi publik, kepuasan terhadap situasi dan aspek-aspek terkait dengan kinerja pemerintah misalnya, turut memainkan peran.

Dalam kondisi ini, harapan akan perubahan menemukan ruang strategisnya pada sosok yang tampak menjanjikan. Kebetulan pula, saat yang sama sosol tersebut seperti sedang disingkirkan. Dalam situasi ini, kerja pencitraan menjadi jauh lebih mudah. Meski pasti tetap tidak murah. Kisah sukses SBY, terutama dalam keterpilihannya di periode pertama ada dalam konteks ini.

Kedua, sesuatu yang dikelola sebagai amunisi pencitraan tokoh umumnya akan efektif jika ia tampak nyata. Pencitraan akan bekerja baik jika misalnya, ’’upaya penyingkiran itu, memang nyata’’ sedemikian menjadi fakta di kepala publik. Atau, jika itu dalam konteks kinerja dan karakter, jarak isi sebenarnya dengan bungkus tidak terlampau jauh. Bahwa kinerja si tokoh—jika ia misalnya seorang kepala daerah—dapat dengan mudah dideteksi oleh awam, dan disampaikan melalui ukuran-ukuran tertentu. Akan tetap ada perdebatan, tapi kapitalisasi informasi keberhasilan kinerja akan sangat berpengaruh jika faktanya mudah dikonfirmasi.

Pada akhirnya, meski figur yang teraniaya ini dapat mengundang simpati publik, kredibilitas tetap dibutuhkan untuk mentransformasikan simpati menjadi elektabilitas. Tidak ada yang kebetulan dalam politik. Terlebih di era informasi yangs serba cepat ini, pertarungan wacana berebut perhatian publik dapat terjadi sepanjang waktu.

Masyarakat Indonesia secara umum memiliki imajinasi tentang pemimpin yang bisa menjadi tempat menggantungkan harapan. Ia lahir di tengah-tengah masyarakat dan membawa aspirasi kaum tertindas. Sementara para elite politik selalu dibayangkan sebagai penindas, itulah mengapa ketika ada figur pinggiran yang tampil menantang status quo, dapat dengan mudah mendapat simpati masyarakat. Seperti imajinasi heroik dalam sebuah dongeng, terus mendambakan pahlawan yang mampu memikul kesengsaraan rakyat.

Apakah imajinasi ini—jika ternyata dipahami dan diyakini begitu—memudahkan para politisi menentukan strategi? Lalu, akankah—karena imajinasi ini—kita disuguhi pertunjukan strategi pencitraan yang serupa sebangun? Masih ada waktu untuk menontonnya sebelum pertarungan berakhir di 2024.

Nanang Haroni, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita