Strategi Terzalimi untuk Mendulang Simpati Publik
Kontestasi politik kerapkali melahirkan drama yang menyedot perhatian publik. Karena selain ajang jual-beli gagasan, para aktor politik juga berebut peran sebagai representasi suara rakyat. Beragam strategi dilakukan dalam membangun persona politik. Kepiawaian dalam membentuk citra sangat menentukan capaian suara yang bisa mereka raih. Sebab akan mempengaruhi isi pesan, jenis instrumen, dan juga objek pemilih yang akan disasar.
Survei teranyar Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan bahwa atribut terpenting bagi seorang calon pemimpin adalah dekat dengan rakyat (37%). Lalu bersih dari korupsi (26%), dan taat pada ajaran agama (16%). Dari temuan tersebut tergambar jelas imajinasi masyarakat tentang sosok pemimpin ideal. Tampaknya figur pemimpin seperti Presiden Jokowi masih menjadi referensi utama masyarakat. Hal ini berbanding lurus dengan hasil riset SMRC lainnya, bahwa sebanyak 76,7% responden puas dengan hasil kinerja Jokowi.
Tiga kriteria tersebut menunjukkan betapa vitalnya pembentukan citra bagi seorang politisi. Preferensi pemilih Indonesia masih didominasi oleh kedekatan dan familiaritas. Sementara untuk program dan gagasan calon seringkali luput jadi pokok pertimbangan. Untuk itu dibutuhkan persona politik yang kuat agar mampu mengotimalkan aspek emosional pemilih. Karena bagi pemilih, ketokohan figur tertentu dapat menjadi daya tarik yang bisa memenuhi ekspektasi mereka terkait sosok pemimpin ideal.
Mambangun Citra Politik
Badan Pusat Statistik (BPS) menaksir jumlah penduduk Indonesia di 2024 akan didominasi usia produktif. Ada sekitar 191.570.000 penduduk (67,9%) dari total populasi Indonesia. Artinya mayoritas pemilih di Pemilu 2024 adalah pemilih muda. Tak heran bila para kandidat calon akan saling berebut atensi pemilih muda untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Sekitar 64,92 juta pemuda Indonesia menghabiskan rata-rata lebih dari 160 menit di dunia virtual. Fakta tersebut akan memaksa mesin politik masing-masing calon untuk beradaptasi demi mendulang simpati dan dukungan pemilih muda. Kondisi ini memunculkan fenomena selebritas politik, yaitu figur politik yang populer dengan pendekatan komunikasi massa yang otentik seperti interaksi keseharian.
Tokoh publik seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono hingga Dedi Mulyadi menjadi wajah dari fenomena ini. Mereka mampu mengoptimalkan popularitasnya untuk mengantongi simpati publik. Melalui akun media sosial mereka membangun interaksi sosial dengan warganet, tak jarang unggahannya itu turut menyita perhatian publik. Seiring menurunnya intensitas pertarungan ideologi politik, citra politik menjadi diferensiasi penting dalam gelaran pemilu.
Pada tahap awal seorang politikus harus lebih mudah untuk dikenali. Agar proses identifikasinya lebih cepat, sehingga masyarakat mampu membedakannya dari figur-figur yang telah eksis. Setelah dikenal, penting untuk membangun kredibilitas sehingga kepercayaan publik dapat disalurkan melalui dirinya. Dalam proses membangun citra figur politik membutuhkan narasi yang dekat dan mudah dipahami masyarakat. Narasi yang dapat menggerakkan massa secara sadar maupun tidak sadar.
Kesan Teraniaya
Melihat imajinasi sosok pemimpin yang diinginkan rakyat, citra sebagai figur yang teraniaya bisa menjadi pilihan yang tepat. Masyarakat kerap bersimpati pada mereka yang dianggap terzalimi. Ada semacam heroisme yang terpendar dari mereka yang menjadi korban politik. Publik merasa bahwa lewat sosok yang terzalimi inilah suara mereka akan berbunyi lebih nyaring. Kepahitan hidup dan terjerembab di dasar struktur sosial membuat masyarakat mudah bersimpati pada siapapun yang vis a vis melawan status quo.
Jalan ini pernah ditempuh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan gemilang. Ia dianggap sebagai korban politik dari Megawati Soekarnoputri. Pasca dipecat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, namanya melejit dan keluar sebagai pemenang kontestasi pemilu dua kali berturut-turut. Publik menilai sosok SBY sebagai representasi masyarakat yang kecewa terhadap kinerja pemerintahan Megawati.
Meski tidak dalam gelanggang yang sama, Anies Baswedan pun pernah mendapatkan manfaat elektoral sebagai orang yang terzalimi. Didepak dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia masuk dalam gelanggang bursa calon Gubernur DKI Jakarta. Menantang Basuki Tjahaja Purnawa (BTP) sebagai petahana, Anies keluar sebagai pemenang. Ia keluar sebagai kekuatan baru yang menaungi masyarakat yang kecewa terhadap kinerja pemerintah. Terlepas dari kontroversi SARA yang terjadi, kelompok pendukung Anies menjadi perwujudan orang-orang yang teraniaya secara struktur. Sebagian dari mereka menganggap dengan mengalahkan BTP maka akan ada kekuatan baru yang mampu mengusik pemerintah pusat.
Baca halamannya selanjutnya