Sejarah

KH Mas Raji, Kiai Makkah dari Pulau Bawean

Ulama Nusantara di Makkah, salah satunya berasal dari Pulau Bawean, yaitu Syekh Muhammad Zainuddin al-Baweani (duduk kedua dari kanan).

BOYANESIA -- KH Mas Raji bin H Toyib merupakan salah satu ulama asal Pulau Bawean yang lahir pada 1874 M. Ia adalah putra dari pasangan H Toyib dan Safjirati asal Kampung Rojing, Desa Kebun Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, Bawean, Gresik.

Dalam bukunya yang berjudul “Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX-XX”, Burhanuddin alias Bobo menjelaskan, Kiai Mas Raji adalah seorang pemuda mandiri yang gigih dengan kemandiriannya untuk menjadi santri kelana dan menuntut ilmu ke Tanah Suci Makkah.

Ia dibesarkan dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya adalah seorang petani sebagaimana kehidupan penduduk Kampung setempat yang mengandalkan lahan pertanian sebagai tumpuan mata pencahariannya .

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia menghabiskan masa kecilnya bersama para petani di desanya. Pergi ke sawah dan berkebun adalah aktivitas yang tidak asing baginya. Hingga menjelang dewasa, ia pun dikenal sebagai pemuda yang mandiri.

Ketika usianya belum lagi dewasa, ia pun memutuskan untuk menuntut ilmu di beberapa pesantren di pulau Jawa. Keputusan ini tentu mengagetkan orang tuanya. Sebab, pergi ke luar pulau tidaklah seperti bayangan seorang pemuda seusianya.

Sebagai orang tua, H Toyib pasti memikirkan segalanya untuk kebaikan putranya itu. Tapi tekad sang anak begitu kuat. Hingga akhirnya ia pun pamit untuk pergi menuntut ilmu ke Pulau Jawa. Ia juga meyakinkan orang tuanya agar tidak memikirkan soal biayanya.

Dengan bermodal semangat dan kemandiriannya, Mas Raji kemudian menjadi santri kelana. Ia mengunjungi beberapa pesantren, khususnya yang tersebar di Jawa Timur. Ia mengaji sambil bekerja.

Di kalangan rekan-rekannya, Mas Raji dikenal sebagai pemuda yang cerdas, ramah dan dermawan. Terakhir ia tercatat sebagai santri Pesantren Sidogiri Pasuruan, sebelum akhirnya berkelana menuju Makkah.

Setelah sekitar tiga sampai empat tahun berada di Pesantren Sidogiri, pemuda Mas Raji pulang ke Bawean. Kali ini, justru lebih mengagetkan karena tiba-tiba saja ia mengutarakan kepada orang tuanya bahwa kepulangannya untuk berpamitan sekaligus mohon doa restu kalau dirinya ingin melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah.

Orang tuanya merestui. Kemudian, pemuda Mas Raji kembali melanjutkan perjuangannya sebagai santri kelana. Ia layaknya musafir pencari ilmu dari satu tempat ke tempat lainnya. Hanya, kali ini sang pengelana lebih jauh lagi meninggalkan kampung halamannya, yakni ke Tanah Suci Makkah.

Di negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, pemuda Mas Raji berguru kepada ulama Hijaz dan beberapa ulama Nusantara yang juga telah lama tercatat sebagai muqimin di Makkah.

Salah satu ulama nusantara yang mempengaruhi perjalanan karirnya adalah Kiai Kaylubi asal Banten. Kepadanya pemuda Mas Raji berguru, hingga ia ditakdirkan menjadi menantu sang guru. Lebih dari 30 tahun hidupnya ia habiskan untuk menuntut ilmu hingga menjadi muqimin di negeri Hijaz.

Sahabatnya ketika di Makkah juga tidak terhitung jumlahnya. Bisa kita sebut di sini adalah Kiai Mukri asal Banten dan Kiai Zaini pendiri pondok pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Pada periode ini juga tercatat santri kelana asal Pulau Bawean di Makkah seperti KH Dhohir, KH Abdul Hamid Pancor, serta KH Subhan Daun.

Akan tetapi, Kiai Mas Raji tinggal di Mekkah lebih lama, termasuk di sini adalah keluarga Kiai Muhammad Hasan Asy’ari yang lebih dahulu menetap di Makkah. Dari sini pula mereka bertemu dan hidup berdampingan menjalin silaturahim layaknya sebuah ikatan keluarga Bawean yang tinggal di negeri perantauan.

Pemuda Mas Raji akhirnya harus meniti buih bahtera rumah tangga untuk kali pertama dan terakhir di Makkah. Ia menikah bersama Hj Fatmah, putri dari Kiai Kaylubi. Pasangan ini pun dianugerahi 10 anak keturunan.

Baca terus ke halaman selanjutnya....

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita