Serba Serbi

Refleksi Satu Abad NU: Perkuat Peran Kebangsaan dan Sosial Keagamaan NU

Warga Nahdliyin saat menghadiri acara Resepsi Puncak Harlah Satu Abad NU di Stadion Gelora Delta, Selasa (7/2/2023) . Foto: Istimewa

Oleh: Syarif*

SIDOARJO -- Pada 16 Rajab H1445 H atau bertepatan dengan 7 Februari 2023 Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 100 tahun atau satu abad. Jika diibaratkan umur manusia, maka NU dapat disebut sudah sangat sepuh. Umur ini jika harus dikonversi ke sebuah sikap maka NU bisa disebut sangat dewasa. Dewasa ini kita terjemahkan sebagai hidup yang telah melewati dan menapaki berbagai aral melintang, seperti biasa diucapkan dalam sebutan keseharian sebagai: "telah banyak makan asam garam".

Dalam refleksi kali ini penulis mengemukakan dua refleksi kelahiran NU selama menapaki sejarahnya, yaitu, peran NU dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan atau kita sebut peran kebangsaan; serta peran NU dalam mengawal Islam Ahlus sunnah wal jamaah atau peran keagamaan.oe

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Rektor IAIN Pontianak, Syarif. Dok. Pribadi

Pertama, Peran Kebangsaan NU. Secara kelembagaan NU telah memberikan kontribusi besar dalam perjuangan pra kemerdekaan. Pengurus dan anggota NU telah bahu membahu mengorganisir kekuatan melawan dan mengusir penjajahan dari muka bumi Indonesia. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, pernah menjabat sebagai ketua Masyumi, dan pengurus NU lainnya, KH Wahab Chasbullah, diangkat sebagai Penasihat Dewan Pelaksana.

Pada masa ini, tokoh-tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka terlibat langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan RI. Pengakuan atas peran itu dapat dilihat dari ditetapkannya KH Hasyim Asyari sebagai Pahlawan Nasional.

Selama perang kemerdekaan, NU memainkan peran politik dan khususnya diplomasi. Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad). Resolusi ini menjadi pemompa semangat perang melawan penjajah.

Selanjutnya, Resolusi Jihad memicu perang rakyat selama empat hari di Surabaya. (26-29 Oktober 1945). Perang itu terjadi antara arek-arek Suroboyo dengan Brigade ke-49 Mahratta yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Resolusi jihad juga mendorong Santri turun berperang dalam pertempuran hebat 10 November 1945. Hari pertempuran itu kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.

NU juga menentang perjanjian dan konsesi diplomatik yang diadakan pemerintah ketika itu seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan Konferensi Meja Bundar (1949).

Pada 1946, melalui Muktamar NU XVI di Purwokerto, NU memutuskan bergabung dalam partai politik. Partai politik adalah instrumen dalam kehidupan berbangsa. Kiai Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan) Masyumi. Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil ketua di Masyumi, yakni: KH Wahid Hasyim, KH Masjkur, dan KH Fathurrahman Kafrawi. Tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai tersendiri.

Setelah itu NU masuk parlemen dan membentuk fraksi tersendiri. Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan mendapat bagian 45 kursi di parlemen.

Sebagai partai politik NU menjadi motor dalam urusan politik kebangsaan. Pada pertemuan Dewan Partai di Cipanas, Bogor (26-28 Maret 1958) NU mengambil keputusan penting dengan menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi Negara.

Pada 1959 NU dan bersama beberapa organisasi lain melakukan jihad politik saat berada dalam lingkaran Demokrasi Terpimpin yang menjadikan Nasakom sebagai penyangga kekuatannya. Pada situasi ini, NU lebih memilih kompromistis demi kepentingan politik nasional dan jangka panjang. NU telah menjadi penyeimbang dalam pemerintahan ketika itu.

Setelah 1970-an NU menjadi kekuatan utama PPP, yang merupakan komponen utama dalam pemerintahan. Selama rentang waktu tersebut NU merupakan bagian dari oposisi, yang menjadi penyeimbang pemerintahan. Kekuatan NU dibuktikan dalam beberapa penolakan terhadap kebijakan-kebijakan tertentu –umpamanya Rancangan Undang-undang Perkawinan. Lalu, pada 1984, NU memutuskan kembali ke Khittah 1926, meninggalkan politik praktis.

Pada saat reformasi terjadi pada 1998, NU juga tetap menjadi bagian penting dari gerakan itu. Tokoh-tokoh NU ikut andil untuk mewujudkan reformasi yang aman. Tokoh NU turun mendorong narasi: lengser ke prabon, sebagai pandit.

Setelah itu, sejumlah tokoh NU secara ajeg berperan dalam urusan kebangsaan. Hingga kemudian di tahun 1999 dari rahim NU lahir PKB. PKB berkembang menjadi kekuatan penting di Indonesia. Pada masa yang sama NU juga mengambil peran sentral dalam persoalan kebangsaan. Gus Dur (Abdurrahman Wahid), ketua PBNU ketika itu terpilih sebagai presiden. Hari ini, Wakil Presiden dijabat oleh KH Ma’ruf Amin yang pernah menjadi Rais Am Syuriah PBNU.

Kedua, Peran Sosial-Keagamaan NU. NU menjadi pengawal Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) untuk memastikan umat Islam berada pada jalan yang lurus. Islam dalam pandangan NU adalah Islam yang kaffah; baik urusan teologis maupun sosiologis, mulai dari akidah hingga muamalah. Islam adalah kesatuan yang tidak terpisahkan.

Baca halaman selanjutnya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita