Jherat Lanjheng, Kisah Makam Terpanjang di Pulau Bawean
BOYANESIA – Dalam bahasa baweannya dikenal dengan Jherat Lanjheng, yang berarti Makam Panjang. Makam ini menjadi salah satu destinasi wisata yang ada di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Terletak di pinggir pantai, makam ini ternyata menyimpan sebuah kisah yang menarik dan melegenda.
Saat masih kanak-kanak, saya bersama teman-teman sekampung kerap mengunjungi makam panjang ini, khususnya saat lebaran. Karena, di sekitar makam ini kami bisa menyaksikan panorama alam yang mengagumkan. Kami juga terpukau dengan gugusan pasir putih dan air lautnya yang bersih.
Pantai Jherat Lanjang mempunyai pesisir pantai yang menjorok, kemudian memiliki bebatuan yang mendominasi di pinggiran pantainya. Di pantai ini lah kami sering membakar ikan segar dan melahapnya bersama-sama.
Makam ini berada di penghujung Dusun Tanjung Anyar, Desa Lebak, Kecamatan Sangkapura, Kabupaten Gresik. Ketika pertama kali melihat Jherat Lanjheng, saya pun merasa heran. Karena, ukurannya di luar nalar, yakni memiliki panjang sekitar 11-12 meter.
Berdasarkan cerita rakyat Bawean, Jherat Lanjheng merupakan makam dari salah seorang abdi dari Raja Jawa yang bernama Aji Saka. Dikisahkan, dulu ada seorang pemuda bernama Aji Saka. Ia adalah seorang kesatria yang baru saja berguru ilmu kesaktian. Setelah selesai mengabdi kepada gurunya, dia kemudian berniat untuk mengembara dan mengamalkan ilmunya.
Setelah mendapatkan nasihat dari gurunya, Aji Saka pun memulai pengembarannya dengan ditemani dua pengikutnya, yaitu Dora dan Sembada. Tak lupa, Aji Saka juga membawa beberapa barang pusakanya. Mereka kemudian mengarungi lautan hingga berminggu-minggu lamanya.
Hingga akhirnya, mereka berlabuh di Pulau Majeti, yang kini dikenal sebagai Pulau Bawean. Pulau ini memiliki pemandangan yang sangat menakjubkan hingga membuat Aju Saka bersama dua pengikutnya itu merasa sangat senang. Mereka kemudian menyusuri perkampungan dan menikmati pemandangannya.
Hingga suatu waktu, Aji Saka bertemu dengan seorang kakek yang arif dan bijaksana. Aji Saka mendapatkan informasi darinya bahwa ada pemandangan yang lebih bagus di sebuah pulau yang bernama Pulau Jabadiu, yang kini dikenal dengan Pulau Jawa. Karena, di sanalah pusat Nusantara.
Namun, barang-barang pusaka Aji Saka sudah semakin bertambah banyak dan tidak mungkin untuk dibawa ke Pulau Jabadiu. Akhirnya, Aji Saka terpaksa menitipkan pusakanya kepada salah satu pengikutnya, yaitu Dora. Sementara, Sembada harus mendampingi Aji Saka melanjutkan perjalannya.
Sebelum berangkat, Aji Saka juga berpesan pada Dora untuk menjaga barang-barang berharga yang ditinggalkannya tersebut. Jangan sampai barang pusaka tersebut diberikan kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka sendiri.
Pesan tuannya itu dipegang teguh oleh Dora. Dia bahkan berjanji akan menjaganya meskipun nyawa sebagai taruhannya. Setelah itu, berangkatlah Aji Saka bersama Sembada ke Pulau Jawa dengan menumpang perahu nelayan.
Setelah tiba di Pulau Jabadiu, Aji Saka merasa girang dengan pemandangannya yang sangat menawan. Namun, di pulau itu Aji Saka juga harus berhadapan dengan seorang raja yang suka memakan rakyatnya. Beruntung, Aji Saka bisa menaklukkan raja kejam itu.
Atas kemengan itu bersorak-soraklah seluruh rakyat Pulau Jabadiu. Sejak saat itu, dimulailah perhitungan Tahun Saka oleh orang Jawa. Kemudian, Aji Saka dipercayakan untuk menjadi raja mereka. Prabu Aji Saka memerintah kerajaannya dengan sangat adil dan bijaksana, sehingga rakyatnya makmur dan sentosa.
Namun, suatu hari Prabu Aji Saka teringat pada barang-barang pusakanya yang ditinggal di Pulau Majeti. Karena sangat dibutuhkan untuk keperluan kerajaan, Aji Saka kemudian memerintahkan Sembada untuk mengambil barang-barang pusakanya itu.
Saat tiba di Pulau Majeti, Sembada sangat senang bisa bertemu lagi Dora, sahabatnya yang setia menjaga barang-barang tuannya. Sembada pun menceritakan kepada Dora bahwa tuannya kini telah menjadi raja di Pulau Bawa.
Dora pun merasa bersyukur dan turut senang. Lalu, Sembada menjelaskan maksud kedatangannya. Ia meminta kepada Dora agar menyerahkan barang-barang pusaka tersebut kepada Sembada untuk dibawa ke Jawa.
Namun, Dora tidak memberinya karena ia teguh memegang amanat tuannya agar tidak memberikan pusaka itu kepada siapapun, kecuali kepada Aji Saka sendiri. Sementara, Sembada juga teringat pesan Aji Saka agar membawa semua barang-barang pusakanya itu ke Pulau Jawa.
Keduanya sama-sama memegang pesan dari tuannya. Setelah berdebat dan hilang kesabaran, Sembada yang berbada gemuk kemudian menyerang Dora yang bertubuh tinggi dan jangkung. Terjadilah perkelahian yang amat sengit.
Awalnya, keduanya bertarung menggunakan tangan kosong. Lalu, Dora dan Sembada sama-sama mengeluarkan keris. Duel antara panawakan itu pun berlangsung lama karena sama-sama memiliki kesaktian.
Hingga akhirnya, Dora berhasil menghujamkan kerisnya ke dada Sembada secepat kilat. Namun, secepat itu pula Sembada berhasil menusukkan kerisnya ke lambung Dora. Keduanya terbelalak sejenak sambil tangannya memegang kerisnya masing-masing yang masih menancap pada sasarannya.
Kemudian, keduanya berangkul-rangkulan. Sementara, darah mengalir deras sekali dari tubuh mereka. Beberapa detik kemudian, mereka pun roboh dan tak berkutik lagi. Mereka tewas dalam mengemban tugasnya masing-masing. Dora tewas demi memegang teguh pesan tuannya dan mempertahankan janjinya sendiri. Sembada tewas dalam melaksanakan tugas yang dieberikan tuan kepadanya.
Sudah berminggu-minggu Prabu Aji Saka menunggu Sembada yang tak kunjung datang. Maka, dia pun pergi menyusulnya bersama beberapa prajuritnya. Setelah tiba di pantai Pulau Majeti, kagetlah Prabu Aji Saka menyaksikan kedua panakawannya yang telah gugur dengan keris yang masih tertancap di tubuhnya masing-masing.
Kemudian, Dora yang bertubuh tinggi dikuburkan di bawah pohon besar yang kini dikenal dengan Jherat Lanjheng. Sedangkan, Sembada dikebumikan di dekat kuburan penduduk yang tidak jauh dari kuburan pertama.
Di antara kedua kuburan tersebut, Aji Saka membuat prasarti sebagai kenang-kenangan kepada kedua penakawannya di samping juga sebagai pelampiasan rasa sedihnya yang tak terhingga. Prasasti tersebut di tulis di sebuah batu besar dengan ejaan Jawa Kuno. Sayang, batu tersebut kini telah di pecah-pecah penduduk sebagai fondasi jembatan muara, lebak.
Di depan jasad dua pengikutnya itu, Prabu Aji Saka membuat puisi yang kemudian dikenal sebagai Hanacaraka atau aksara Jawa. Kendati demikian, terdapat beberapa versi cerita tentang asal-usul Hanacaraka dari berbagai daerah.
Pusi yang ditulis Prabu Aji Saka tersebut berbunyi, Hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga. Artinya, Terdapat dua utusan. Mereka berbeda pendapat. Mereka berdua sama kuatnya. Inilah mayat mereka.
Sumber: pagarbawean
Penulis: Muhyiddin Yamin