Sejarah

Mengapa Dua tokoh Pendiri NU Ini Selalu Berdebat?

KH Bisri Syansuri (kiri) dan KH Abdul Wahab Hasbullah (kanan) merupakan tokoh pendiri NU
KH Bisri Syansuri (kiri) dan KH Abdul Wahab Hasbullah (kanan) merupakan tokoh pendiri NU

BOYANESIA -- Sepeninggal Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari,) KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri merupakan sepasang tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang saling isi mengisi dalam kepemimpinan pusat.

Kiai Bisri Syansuri meman lebih muda usianya daripada Kiai Abdul Wahab Hasbullah, yaitu selisih empat tahun. Kendati demikian, kedua ulama ini hampir tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hampir dalam setiap peristiwa penting di mana hadir Kiai Wahab, maka hadir pula Kiai Bisri mendampinginya.

Seperti diceritakan KH A Azis Masyhuri dalam bukunya “99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid I”, sejak masih muda, Kiai Wahab dan Kiai Bisri memang sudah saling berkompetisi dalam menuntut ilmu dan keduanya sama-sama cakap, rajin dan jago berdiskusi selama ada kesempatan berkumpul.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kedua tokoh ini sama-sama mengemudikan NU sejak perhimpunan ini masih dalam bentuk jamiyah hingga menjadi partai politik. Kalau Kiai Wahab Hasbullah terpilih menjadi Rais Aam PBNU, maka jabatan wakilnya secara otomatis diemban Kiai Bisri Syansuri.

Menurut Kiai Azis Masyhuri, kedua tokoh ini sebenarnya mempunyai dasar berpijak dan pangkal orientasi yang sama. Hanya saja, dalam penerapan ilmunya di tengah-tengah masyarakat keduanya mempunyai jalan pikiran yang berbeda-beda.

“Itulah sebabnya dimanapun mereka berdua berada akan terjadi perdebatan panjang. Memang setiap hukum Islam yang bukan qath’ti (tetap/pasti) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam lantaran perbedaan sebab atau illat-nya,” kata Kiai Azis.

Dalam masalah hukum, Kiai Wahab Hasbullah senantiasa mengukur kondisi masyarakat. Bisakah masyarakat menanggung konsekuensinya? Sebab tujuan hukum adalah untuk diamalkan. Karena itu, Kiai Wahab Hasbullah memiliki hukum yang paling ringan (selama masih dalam batas-batas yang diizinkan syara’) yang sekiranya bisa dipakai oleh masyarakat.

“Itulah sebabnya Kiai Abdul Wahab dipandang oleh orang yang tidak menguasai hukum Islam sebagai orang yang suka mempermudah hukum,” jelas Kiai Azis.

Pangkal dari cara berpikir Kiai Wahab Hasbullah adalah untuk apa menerapkan hukum yang berat tatkala ada hukum yang lebih ringan sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat? Sebab, bunakah tujuan hukum itu untuk ditaati?

Berbeda dengan cara berpikiri Kiai Bisri Syansuri. Pokok pangkal cara berpikir Kiai Bisri Syansuri didasarkan pada faktor mental manusia. Menurut Kiai Bisri, pada umumnya manusia itu hendak menghindar dari hukum walau bagaimanapun ringannya hukum itu.

Maka, menurut Kiai Bisri, lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat (toh bakal ditawar), sehingga kalau seseorang melanggarnya ia masih bisa ditampung oleh hukum yang lebih ringan. Oleh karena itu fatwa-fatwa Kiai Bisri dikenal orang sebagai fatwa yang keras, sebab hanya mengenal alternatif halal dan haram. Dalam soal-soal yang prinsip, Kiai Bisri Syansuri tidak pernah kenal kata kompromi.

“Perdebatan-perdebatan antara Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri Syansuri itu tetap saja berlangsung, walau keduanya sudah diikat menjadi saudara ipar, bahkan keduanya sudah menjadi tokoh sentral di PBNU,” ujar Kiai Azis.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita