Kisah Syaikhona Kholil Bangkalan Makan Kulit Semangka di Makkah
BOYANESIA – Salam toghellen (saudara)..... Syaikhona Kholil Bangkalan merupakan seorang ulama besar paling berpengaruh di Indonesia, utamanya di Jawa Timur. Beliau adalah seorang ulama Nusantara yang pernah belajar hingga ke Makkah, dan selama di sana beliau lebih banyak makan semangka.
Kok bisa? Bagaimana ceritanya? Ini dia...!!
Jadi, waktu masih muda dan nyantri di Banyuwangi, Syaikhona Kholil memiliki niat untuk belajar Makkah. Saat usianya menginjak 24 tahun, pada 1849, ia pun mewujudkan niatnya itu. Namun, sebelum berangkat Makkah, ia sempat dinikahkan dulu dengan anak perempuan Lora Puti, Nyai Asyik.
Dalam buku “99 Kiai Kharismatik Indonesia: Riwayat, Perjuangan, Doa, dan Hizib” terbitan Keira dijelaskan bahwa Syaikhona Kholil saat itu menggunakan ongkos pelayaran ke Makkah dengan tabungannya selama nyantri di Banyuwangi.
Sedangkan selama di pelayaran, konon Kiai Kholil lebih banyak berpuasa. Ini dilakukan bukan untuk menghemat uang melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.
Konon, selama di Mekkah ia lebih banyak memakan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Kebiasaan makan kulit buah semangka tersebut kemungkinan besar dipengaruhi ajaran tarekat ngrowot (vegetarian) dari al-Ghazali, salah seorang ulama yang sangat dikaguminya.
Kulit semangka ini sebenarnya juga memiliki khasiat. Baca di sini untuk mengetahui khasiatnya: Mengolah dan Mengonsumsi Kulit Semangka
Lanjut, kehidupan Syaikhona Kholil yang demikian cukup mengherankan teman-temannya waktu itu. Teman seangkatannya, Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tak habis pikir dengan kebiasaan temannya itu.
Sepengatahuan teman-temannya, Kiai Kholil Bangkalan juga tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air. Ia dikenal pandai mencari uang. Kiai Kholil banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah. Risalah-risalah yang ia tulis ini kemudian dijual untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari.
Tak hanya itu, Kiai Kholil juga pandai mencari uang dengan memanfaatkan kepiawan-kepiawaiannya menulis khat atau kaligrafi. Akan tetapi, meskipun bisa mencari uang, Kiai Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin dan sederhana.
Saat di Makkah, Kiai Kholil belajar pada para Syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjidil Haram. Namun, kecenderungannya untuk mengikuti mazhab Syafi’i tak dapat disembunyikannya. Karena itu, tak heran jika kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang memang bermazhab Syafi'i.