Refleksi Mudik dan Pembangunan Ekonomi Desa
BOYANESIA – Salam toghellen (saudara) Setiap musim mudik selalu teringat dengan kampung halaman, khususnya di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Mudik lebaran tahun 2023 ini, saya bersyukur masih bisa kembali ke tempat kelahiran saya ini untuk menjalin silaturrahmi dengan sanak famili.
Saat mudik ke Pulau Bawean, saya pun mendengar berbagai masalah yang dihadapi masyarakat Bawean, yang di antaranya tak terlepas dari permasalahan ekonomi. Pasalnya, di Bawean tidak banyak lapangan pekerjaan. Karena itu, beberapa waktu lalu saat merefleksikan tentang musik dan pembangunan ekonomi di desa.
Tulisan ini saya tulis pada saat menjadi mahasiswa di Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Ini lah dia..!
Mudik merupakan suatu tradisi yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang tinggal di ibu kota dan kota besar lainnya. Acara mudik bahkan menjadi taruhan keberhasilan seseorang. Mereka umumnya merasa malu jika pulang kampung dengan tangan kosong.
Setelah sampai di tanah kelahiran, secara sengaja atau tidak mereka akan memoles diri dengan simbol-simbol yang bisa mengangkat derajatnya di mata masyarakat dari segi peningkatan kelas ekonomi. Secara tidak sadar ‘penonjolan status ekonomi’ yang diperlihatkan tersebut membawa efek lanjutan bagi penduduk lain yang memang beranggapan bahwa kota adalah jalan menuju kehidupan lebih baik. Sehingga terjadilah Urbanisasi berikutnya.
Ironisnya fenomena ini secara turun temurun dan membuat kota semakin kumuh. Salah satu faktor maraknya urbanisasi adalah pembangunan pemerintah yang sentralistik. Desa tentu saja selalu dikalahkan. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa kota adalah lambang kemakmuran dan perdesaan sebagai simbol keterbelakangan. Selama desa tidak dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan, urbanisasi akan terus terjadi.
Oleh karena itu, desa harus bisa membendung urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja dan sumber-sumber ekonomi. Karena desa yang dikelola melalui potensi perdesaan yang menjanjikan pendapatan tinggi akan meminimalisasi urbanisasi.
Sebenarnya, potensi yang tersimpan di desa tidaklah kecil. Seandainya pembinaan dan pengembangan diri pada masyarakat desa terus dilakukan, warga desa bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan bisa menjadi pendongkrak ekonomi nasional.
Lebih lanjut, pemerintah juga harus menggalakkan pembangunan desa dari berbagai sektor kehidupan. Terutama dari segi ekonomi. Desa harus lebih diutamakan daripada kota agar perekonomian merata di negeri ini.
Menurut World Bank, pembangunan desa adalah sebagai strategi untuk memajukan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi bagi kelompok tertentu, yaitu penduduk miskin di perdesaan. Iwan Fals bahkan juga telah mewanti-wanti melalui salah satu lagunya yang berjudul ‘Desa’. Benang merahnya, ‘desa harus jadi kekuatan ekonomi’ begitu salah satu bunyi lirik lagu tersebut.
Desa adalah salah satu lumbung pangan dalam negeri saat lahan-lahan perkotaan sudah tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan produk pangan. Desa adalah kekuatan sejati untuk memenuhi perut rakyat.
Terbatasnya infrastruktur yang ada di desa yang meliputi keterbatasan sarana trasnportasi, energi, telekomunikasi dan jasa-jasa infrastruktur terkait yang menyebabkan pasar-pasar lokal sulit berfungsi dengan baik.
Hal ini juga akan menimbulkan kecendurungan kemiskinan dan pengangguran di desa yang nantinya berujung juga pada urbanisasi. Oleh karena itu, jika ingin membangun desa dari sektor ekonominya adalah dengan membangun infrastrukturnya dulu.
Terakhir, desa harus jadi kekutan ekonomi agar warganya tak hijrah ke kota, sepinya desa akan jadi modal utama bagi mereka penganguran untuk merubah nasibnya hidup ke kota, walhasil kota semakin padat dan kumuh.