Budaya

Kesalahan Mindset tentang Carok Orang Madura

Kiai muda asal Pulau Madura, Ustaz Fauzi Palestin menjelaskan tentang Carok. Foto: Istimewa

BOYANESIA -- Carok adalah perang tanding satu lawan satu yang dilakukan oleh masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri. Biasanya, Carok merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah.

Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan atau harga diri bagi orang Madura. Sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat keluarga. Terkadang Carok juga terjadi karena masalah pemilihan kepala desa.

Namun, Kiai muda asal Madura, Ustaz Fauzi Palestin mengatakan, ada kesalahan mindset tentang Carok. "Ada kesalahan mindset pada masyarakat Madura tentang Carok: Mereka beranggapan carok bagian dari budaya," ujar dia kepada Boyanesia, Jumat (7/5/2023).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Jargon yang dilontarkan dalam Carok ini adalah "Tembheng pote mata mending pote tolang". Artinya, lebih baik darah bertumpah dari pada manahan malu. Namun, menurut Ustaz Fauzi, jargon ini memiliki pesan yang negatif.

"Mindset dan adagium di atas punya pesan negativ, profokatif, dan imajinatif," ucap dia.

Dia menjelaskan, untuk menduduki jabatan kepala Desa di Madura sendiri dianggap sebagai hal yang fantastis. Sehingga, semua berlomba untuk mendudikinya, dengan berbagai cara, termasuk nyawa sebagai taruhannya.

"Carok merupakan efek terpahit peradaban manusia. Sudah pasti, negosiasi perdamaian begitu alot. Potensi balas dendam satu sama lain itu masih sangat mungkin," kata Ustaz Fauzi.

Menurut dia, kalau sudah nyawa sebagai saksi emosi yang tak terkendali, urusan salah benar pasti diabaikan. Mindsetnya sudah bergeser pada "nyawa dibalas dengan nyawa".

Dalam kondisi terjadi pertumpahan darah, amarah semakin memuncak, penyelesaian pun sangat rumit. Karena itu, menurut Ustaz Fauzi, setidaknya ada beberapa hal yang perlu perhatikan.

Pertama, menurut Ustaz Fauzi, pihak terkait harus tanggap respons untuk mengantisipasi segala kemungkinan, baik yang terjadi pertumpahan atau yang masih aman terkendali. Kedua, pihak terkait selain harus jujur dan adil serta transparan, sedapat mungkin jauh-jauh hari ada semacam edukasi pemahaman undang-undang terhadap semua masyarakat.

"Ketiga, tokoh agama dan tokoh desa harus hadir guna menjadi peredam dan pengendali dinamika masyarakat desa. Setidaknya, dapat meminimalisir ketegangan. Sebab, biasanya, masyarakat itu tetap takzim pada kiainya," jelas Ustaz Fauzi.

Keempat, lanjut dia, para tokoh agama, dalam hal ini para kiai sedapat mungkin lebih ada penekanan secara spesifik tentang bahaya carok sebagai budaya. Kelima, alumni pesantren dan para akademisi juga baik jika turun gunung untuk mewarnai politik desa sebagai pengendali kondusifitas keamanan sosial.

"Bukan soal kalah menang, tapi alumni pesantren dan para akademisi insyaAllah bisa meminimalisir cara-cara konservatif," ujar Ustaz Fauzi.

"Keenam, sejauh amatan saya masyarakat desa seperti belum siap berdemokrasi. Kalau boleh berwacana, Pilkades bisa menggunakan konsep ahlul halli wal aqdi," kata Sekretaris MUI Jawa Timur ini.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita