Kisah Bendera Merah Putih Berkibar di Laut Tiberias
BOYANESIA -- Ketua Dewa Pembina Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan Inbound Indonesia (Asphurindo), Kh Hafidz Taftazani menceritakan pengalamannya saat melakukan kunjungan wisata ke berbagai negara di dunia. Di antaranya, ia pernah menyaksikan langsung bendera merah putih dikibarkan di laut Tiberias.
Kiai Hafidz teringat setidaknya tiga kali meneteskan air mata selama berwisata keliling dunia. Pertama, yaitu pada saat kunjungan ke Prancis pada 1983. Saat itu, ia melaksanakan sholat Jumat di sana. Karena menyaksikan banyaknya orang yang sholat Jumat, ia pun merasa terharu sampai meneteskan air mata.
Kedua, ia juga meneteskan air mata saat kunjungan ke Ghuangzu, Cina sekitar 10 tahun yang lalu. Pada saat sholat Jumat di kota itu, menurut Kiai Hafidz, imamnya juga menggunakan bahasa Arab dengan sangat fashih. Jamaahnya pun membludak, sehingga Kiai Hafidz terharu.
Ketiga, air mata Kiai Hafidz menetes saat mendapatkan undangan dari travel yang pemiliknya bukan muslim untuk melakukan kunjungan ke Masjidil Aqsa, Yerusalem dan ke beberapa daerah di Israel. Ia pun dibawa ke Tiberias.
Tiberias sendiri merupakan sebuah kota di utara Israel, di bantaran Laut Galilea. Penduduk kota ini kebanyakan orang Yahudi dan berpenduduk 39.900 jiwa. Pada saat Kiai Hafidz dibawa oleh pemandu wisata naik ke kapal, bendera merah putih kemudian dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan.
“Mereka melakukan itu, saya sangat terharu. Saya meneteskan air mata. Kita sendiri tidak tahu di kapal itu akan dikibarkan bendera merah putih, padahal itu di Tiberias ,” kata Kiai Hafidz saat menceritakan pengalamannya dalam acara pelantikan pengurus Asphurindo periode 2023-2027 di Jakarta, Sabtu (1/4/2023).
Kiai Hafidz mengatakan, hal itu merupakan bagian budaya yang tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah diplomatik, dan mereka sangat memahami persoalan ini. Menurut dia, orang Yahudi menyadari dalam satu kapal itu orang Indonesia semuanya, sehingga mereka melakukan penghormatan.
“Ini menjadi contoh bagi kita semuanya untuk tidak mencampuradukan masalah agama, masalah diplomatik ataupun kenegaraan dan masalah kebudayaan dan juga masalah sepak bola,” ujar Kiai Hafidz.
Dia pun menyayangkan Piala Dunia U-20 gagal terlaksana di Indonesia. Kiai Hafidz juga merasa kasihan kepada generasi muda yang ingin berprestasi, tapi orang-orang yang berpikiran sempit menghambatnya.
“Kasian buat generasi muda yang begitu bangganya dengan negara kita akan menjadi tuan rumah sepak bola U-20, tapi gagal. Kita terlalu sempit dan terlalu keras menghadapi ini,” jelas Lulusan Ummul Quro Makkah ini.