Mengapa Pesawat Amerika Bermanuver di Atas Pulau Bawean?
BOYANESIA -- Pulau Bawean adalah sebuah pulau kecil yang terletak di tengah laut Jawa, sekitar 135 kilometer utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pulau berjuluk pulau putri ini menjadi saksi bisu kasus pesawat militer Amerika Serikat yang bermanuver wilayah Indonesia.
Kasus pesawat militer asing di atas wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang diterbangkan dari kapal induk itu terjadi pada 3 Juli 2003. Saat itu, lima jet tempur F-18 Hornet milik Angkatan Udara Amerika Serikat melakukan manuver di atas perairan Pulau Bawean.
Kemudian, dua pesawat F16 milik TNI AU dikerahkan dari Lanud Iswahyudi, Madiun, untuk mengidentifikasi keberadaan kelima pesawat Amerika Serikat itu.
Keberadaan lima pesawat F-18 Hornet saat itu dipergoki oleh awak kokpit pesawat Boeing 737-200 Bouraq yang tengah melintas di Bawean pada saat yang sama, yang kemudian melaporkannya kepada menara radar di Surabaya dan Jakarta.
Keesokan harinya, TNI AU terus mengadakan pemantauan terhadap konvoi armada laut AS itu dengan mengirimkan pesawat intai B737. Hasil pengintaian dan pemotretan menunjukkan bahwa armada laut AS yang terdiri dari kapal induk USS Carl Vinson, dua Freegate dan satu Destroyer sedang berlayar di antara Pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok.
Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibayangi dua F/A 18 Hornet US Navy. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan “keberatan” secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
Dari fakta-fakta tersebut diketahui bahwa pelayaran pada alur laut kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh kapalkapal militer negara asing sering kali meluncurkan pesawat udaranya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari bagian kapal untuk misi pengamanan jalur pelayaran.
Namun, dalam praktik peluncuran pesawat dan penerimaan pesawat melalui kapal yang melintas di alur laut kepulauan tersebut seringkali terjadi praktik pelanggaran yang dapat membahayakan dan mengancam keamanan negara berdaulat.
Lalu mengapa pesawat militer Amerika tersebut bermanuver di atas Pulau Bawean! Jawabannya adalah karena perbedaan persepsi.
Dalam penelitiannya yang dimuat hangtuah.ac.id, Ahmad Novam Hajaruman dari Pusat Penerbal TNI AL Surabaya menjelaskan bahwa kasus Bawean tersebut terjadi karena pihak Amerika meratifikasi United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tidak secara utuh dan menafsirkannya berbeda.
Pemerintah Amerika menyatakan bahwa dengan menerbangkan pesawatnya (F-18 Hornet) dari kapal induk adalah suatu kondisi yang normal. Sesuai ketentuan normal untuk kepentingan pengawasan kapal induknya (class aircraft-carrier).
Perbedaan persepsi kondisi normal masing-masing negara khususnya seperti negara Amerika menganut prinsip war ship carrier dengan pelayaran normal, yakni pelayaran kapal induknya juga sekaligus dibarengi dengan menerbangkan pesawat dari kapal untuk menjaga keamanan atau misi lain (sea survailence) pada jarak yang cukup jauh pada rute pelayaran kapal induk.
Namun, Indonesia yang tidak menganut prinsip war ship carrier dan juga tidak memiliki unsur kapal induk menginterpretasikan kondisi normal pelayaran yakni hanya sebatas pelayaran kapal tanpa dibarengi dengan menerbangkan pesawat dari kapal tersebut.
Dalam kasus di atas, Ahmad Novam Hajaruman meneliti dan menemukan prinsip-prisip hukum internasional maupun nasional berkaitan dengan konflik yang sering terjadi dalam praktik pemanfaatan laut dan ruang udara di atasnya antar negara, khususnya terhadap kapal induk yang menerbangkan pesawat udaranya saat melintas ALKI.
Menurut dia, peristiwa yang terjadi di perairan Bawean antara pesawat tempur Angkatan Laut Amerika Serikat (F-18) dan pesawat tempur Indonesia (F-16) merupakan suatu bentuk arogansi negara adidaya terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.
Selain maneuver berbahaya yang dilaksanakan, kita juga tidak mengetahui misi yang dilaksanakan, bisa saja pesawat tersebut melaksanakan misi mata-mata. Sebagian orang menduga manuver itu sebagai "provokasi" Amerika terhadap Indonesia. Lalu, tak sedikit yang mengeluhkan bahwa kejadian itu membahayakan keselamatan penerbangan dari segi hukum laut.