Sejarah

Webisode tentang Orang Bawean di Singapura

Orang Bawean di Singapura saat berfoto bersama. Foto: Milik Hajah Hosimah Haji Ridwan

BOYANESIA -- Persatuan Bawean Singapura dan The Arts House mempersembahkan Serial Webisode tentang sejarah komunitas Bawean di Singapura. Serial tiga episode yang berjudul “Orang Phebien” ini tayang perdana pada 1 Agustus 2020 di kanal Youtube Arts House Limited.

Orang Phebien merupakan sebuah panggilan bagi orang Bawean yang kerap gunakan di Pulau Bawean. Belakangan, ada juga istilah “Boyan” yang digunakan oleh masyarakat Singapura dan Malaysia untuk orang Bawean, tapi panggilan diasosiasikan dengan stereotip negatif.

Karena itu, masyarakat Bawean sekarang lebih suka menyebut diri mereka orang Bawean, yang membentuk hubungan yang kuat dengan Pulau Bawean di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Webisode ini menggabungkan penelitian sejarah dengan kisah anekdot dan wawancara langsung. Tujuannya adalah untuk menjelaskan lebih banyak tentang orang Bawean, yang kehadirannya di Singapura telah tercatat sejak tahun 1837.

Misalnya, dalam Webisode tersebut dibahas tentang pentingnya “ponthuk” bagi orang Bawean, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pondok. Serial ini juga membahas kehidupan masyarakat sejak dipindahkan dari ponthuk.

Untuk membahas tentang sejarah Bawean di Singapura, ArtsEquator kemudian melakukan wawancara dengan peneliti keturunan Bawean, Hadi Osni. Dia pernah menjadi mahasiswa pascasarjana di National University of Singapore.

Berikut wawancara lengkap bersama Hadi Osni sebagaimana dikutip dari laman resmi ArtsEquator:

Bisakah diceritakan tentang kehidupan Anda sebagai keturunan Bawean?

Saya orang Bawean generasi keempat. Kakek buyut saya yang berusia sekitar 100 tahun lebih tua dari saya (lahir tahun 1890) pindah ke Singapura pada 1930-an. Dia tinggal di daerah bernama Everton Road, tempat kelahiran kakek nenek dan ayah saya. Mereka pindah pada tahun 1970-an.

Bagaimana awal ketertarikan Anda pada sejarah orang Bawean?

Ketika saya masih kecil, setiap kali kami melewati Kereta Api Tanjong Pagar, ayah saya selalu mengingat kenangannya tinggal di sebuah ruko di Everton Road, dekat dengan apa yang dia sebut ponthuk. Sesekali dia akan bertemu dengan seorang teman lamanya, dan dia akan menyebut mereka sebagai “orang ponthuk”.

Saya ingat ayah saya juga berbicara dengan bentuk bahasa Melayu yang aneh setiap kali dia marah, bahasa yang sama yang dia gunakan untuk kakek nenek saya dan kerabatnya yang lebih tua selama Hari Raya.

Mereka akan berbicara tentang saya, dan kemudian mereka akan berkomentar, "Jereak tak mengerti lah". Artinya, "Dia tidak mengerti." Dan saya selalu menjawab, “ngerti lah!”. Artinya “Saya mengerti!”.

Di tahun ketiga saya di universitas, salah satu tugas saya adalah mendokumentasikan daerah perkotaan yang telah dilupakan dalam narasi resmi tentang warisan. Kakek nenek saya sudah berusia 80-an dan saya merasa penting untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan mereka.

Dan topik tentang sejarah sosial orang Bawean ini tampaknya menjadi topik yang paling tepat untuk membuka percakapan dengan mereka, terutama nenek saya. Dia selalu berapi-api ketika berbicara tentang Singapura kuno. Dia mulai mengalami sedikit demensia, tetapi dia akan mengingat dengan jelas tentang tempat berkumpulnya orang Bawean di Singapura, yaitu Everton Road.

Hadi, bentuk penelitian apa yang Anda lakukan untuk mempersiapkan webisode ini?

Saya mencari sumber arsip, denah bangunan arsip dari Arsip Nasional Singapura, dan sumber sastra awal seperti Shair Saudara Boyan (Puisi Bawean) dari 1930 dan pada 1881, ada Shair Kampong Boyan Dimakan Api (Puisi Kampung Bawean Dilahap oleh Api).

Saya melihat sumber-sumber ini untuk membuat gambaran masyarakat Bawean pendatang awal karena sebagian besar orang yang diwawancarai (dalam video webisode) lahir tidak lebih awal dari 1930-an, sehingga ada celah untuk mengingat seperti apa masyarakat Bawean sebelumnya.

Apa saja tantangan ketika mencoba berbagi atau mendidik orang tentang budaya dan komunitas?

Sumber masyarakat Bawean awal sebelum abad ke-20 sebenarnya cukup jarang. Seperti karya sastra yang saya sebutkan tadi, ini hanya dua dari sekian banyak karya sastra yang ada saat itu. Ada yang bertanya, seperti apa sejarah sosial dan sejarah Bawean sejak 1820-an hingga tahun 1880-an? Untuk pertanyaan ini, kita mungkin harus mensintesa dengan sumber lain dari Hindia Belanda dan Malaysia.

Apa harapan Anda untuk orang-orang yang menonton webisode ini?

Saya harap ini menarik minat anak muda Bawean. Jadi kita bisa belajar dan merekonstruksi lebih jauh seperti apa masyarakat Bawean di masa lalu, di luar bukti anekdotal yang sudah kita miliki dari generasi tua kita, yang sepertinya mendominasi narasi, bukan?

Selain itu juga untuk membantu lebih banyak pemuda mengakar secara budaya sebagai bagian dari, bukan hanya Singapura, tetapi sebagai komunitas Nusantara, Asia Tenggara.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita