Mei 1998, Tionghoa, dan KeIndonesiaan

JAKARTA -- Meski peristiwa Mei 1998, yang terjadi hampir seperempat abad lalu menimbulkan kepahitan yang sangat dalam bagi etnik Tionghoa, tragedi tersebut tidak serta merta mengurangi semangat kebangsaan Indonesia di kalangan orang-orang Tionghoa.
Ketua dan Pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI) Jakarta, Dr Johanes Herlijanto mengatakan, pasca terjadinya kerusuhan tersebut, etnik Tionghoa di Indonesia justru semakin aktif memperlihatkan kepada publik negeri ini bahwa mereka pun orang-orang Indonesia, sama seperti komponen bangsa Indonesia lainnya.
"Menyadari bahwa Indonesia adalah tanah air bagi mereka di masa kini dan masa depan, etnik Tionghoa yang baru saja melalui masa-masa terburuk akibat tragedi kemanusiaan itu membentuk berbagai organisasi dengan tujuan untuk turut berkontribusi bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik," ujar Herlijanto.
Melalui organisasi-organisasi tersebut, menurut Herlijanto, kalangan Tionghoa secara menyeluruh diimbau untuk turut berpartisipasi pada kegiatan sosial dan politik agar lebih terintegrasi dalam masyarakat Indonesia secara utuh.
Dosen Program Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) ini menilai bahwa kegiatan sosial dan politik tersebut juga ditujukan untuk menghapuskan berbagai stereotip yang telah lekat selama berdasawarsa, antara lain mengenai kurangnya loyalitas kebangsaan mereka.
Namun demikian, menurut ahli Cina sekaligus dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan ini, upaya Tionghoa memperkuat semangat kebangsaan dalam dua dasawarsa terakhir ini belum secara tuntas menepis narasi miring mengenai loyalitas mereka terhadap Indonesia.
Bagi Herlijanto, kenyataan ini patut disayangkan mengingat etnik Tionghoa sejatinya telah mengalami proses akulturasi selama berberabad-abad di Nusantara. “Akulturasi tersebut membentuk sebuah jati diri tersendiri sebagai orang Tionghoa Indonesia, yang seratus persen berbeda, dan tidak lagi memiliki hubungan, dengan masyarakat maupun pemerintah yang berkuasa di daratan Cina,” jelas dia.
Sayangnya, stigma sebagai asing yang menurutnya telah terlanjur terkonstruksi di era penjajahan, tetap dilekatkan pada Tionghoa. Padahal, menurut Herlijanto, tak sedikit tokoh-tokoh Tionghoa yang memiliki andil penting dalam proses pembangunan kebangsaan Indonesia.
Lebih lanjit, Herlijanto menjelaskan, studi mengenai politik peranakan Tionghoa di Jawa, yang ditulis oleh Leo Suryadinata pada 1979 sebenarnya cukup untuk memperlihatkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia bukan melulu terdiri dari orang-orang yang menganggap diri asing dan berorientasi pada daratan Cina. Bahkan, sebelum Republik Indonesia berdiri, terdapat sekelompok aktivis politik Tionghoa yang mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di bawah pimpinan Liem Koen Hian, mereka membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932. Partai ini bahkan tidak memperbolehkan kaum Tionghoa totok, yaitu mereka yang baru berimigrasi dari Cina dan berorientasi pada daratan Cina, menjadi anggotanya.
Pendirian untuk mengedepankan kebangsaan Indonesia terus dipertahankan oleh para tokoh Tionghoa pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, seruan agar orang-orang Tionghoa menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan berpartisipasi aktif dalam membangun negeri ini makin menguat di kalangan para tokoh Tionghoa.
Seruan tersebut disambut sejumlah besar orang-orang Tionghoa yang sejak berdirinya negeri ini telah memberi sumbangsih bukan hanya di bidang bisnis, seperti stereotip yang dilekatkan pada mereka, tetapi juga pada bidang pendidikan, hukum, bahkan militer. Bahkan, semasa pemerintahan Orde Baru pun, tak sedikit tokoh Tionghoa berperan sangat penting dalam bidang seni dan budaya nasional Indonesia.
Memasuki era Reformasi, seiring dengan makin meningkatnya iklim demokrasi di Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa dalam dunia politik, sosial, dan seni budaya pun semakin meningkat. Terciptanya masyarakat Indonesia yang makin demokratis meningkatkan peluang bagi etnik Tionghoa untuk lebih berperan dalam membangun wajah Indonesia pasca Soeharto yang bersifat multikultural dan mengedepankan toleransi antar etnik. Oleh karena itu, kata Herlijanto, pertanyaan mengenai loyalitas Tionghoa sejatinya telah usang.
Namun sayangnya, pertanyaan usang tersebut masih sering dilontarkan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang menyebut diri sebagai “Pribumi.” Dalam pandangan Herlijanto, ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat Tionghoa yang sedang berjuang untuk melawan stereotip yang mempertanyakan semangat keindonesiaan mereka.
Uniknya, kesalahan memahami Tionghoa juga dilakukan oleh pemerintah Republik Rakyat Cina, yang dalam satu dasawarsa terakhir memperlihatkan minat mendekati etnik Tionghoa untuk kepentingan diplomasi budaya mereka. Merujuk pada pernyataan Professor A. Dahana, guru besar Sinologi yang turut membidani berdirinya FSI, Herlijanto memandang pentingnya para pemimpin masyarakat Tionghoa menyikapi upaya pendekatan dari Cina tersebut secara bijak, karena ia berpotensi membangkitkan kembali kecurigaan yang telah terlanjur berakar dalam masyarakat “Pribumi.”
Penulis: Muhyiddin Yamin
