Sebelum Kembangkan Manhaj Tarjih, Munas Majelis Tarjih Disarankan Perluas Wawasan Keagamaan
JAKARTA -- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-32 pada 23-25 Februari 2024 di Pekalongan, Jawa Tengah. Salah satu topik yang didiskusikan dalam forum tertinggi Muhammadiyah ini adalah "Pengembangan Manhaj Tarjih Muhammadiyah".
Namun, Anggota Majelis Tarjh dan Tajdid PP Muhammadiyah, KH Wawan Gunawan Abdul Wahid menyarankan agar peserta Munas memperluas wawasan keagamaan dulu sebelum melakukan pengembangan Manhaj Tarjih Muhammadiyah
"Dari diskusi yang berkembang sebelum Munas yang didiskusikan itu ternyata melulu pengembangan. Padahal buat saya ada kewajiban untuk memperluas wawasan keagamaan sebelum melakukan pengembangan manhaj. Dalam bahasa Kiai Mas Mansur itu dikalimatkan dengan memperluas paham agama," ujar Kiai Wawan saat dihubungi, Jumat (23/2/2024).
Selain melakukan pengembangan Manhaj Tarjih, Kiai Wawan juga menekankan pentingnya peneguhan Manhaj. "Peneguhan Manhaj itu artinya apa yang ada di dalam Manhaj tadi, yang sering disampaikan oleh para ulama Tarjih itu, dipastikan bahwa itu adalah bagian dari Manhaj Tarjih. Mengapa? Karena ada informasi kalau itu belum dimunaskan malah poinnya itu 16 poin," jelas Kiai Wawan.
Berdasarkan Muktamar Khusus 1986 di Solo, telah dirumuskan 16 pokok Manhaj Tarjih. Namun, menurut Kiai Wawan, dari 16 poin itu ada satu poin yang harus dipastikan, khususnya tentang dalil masalah aqidah. Dalam poin ini dijelaskan bahwa di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir (bukan hadits Ahad).
"Kalau istilah saya pengembangan, terus peneguhan, dan pemastian. Yakni memastikan apakah betul Majelis Tarjih itu berpendapat bahwa Hadits Ahad itu tidak boleh dijadikan hujjah dalam persoalan akidah?," ucap Kiai Wawan.
Pandangan di atas juga sempat disampaikan Kiai Wawan dalam acara Seminar Ketarjihan pada Ahad (11/02) di Aula Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan. Dia menekankan pentingnya Hadis Ahad sebagai hujah dalam persoalan akidah. Menurut dia, menolak hujah Hadis Ahad dalam urusan akidah merupakan pandangan minoritas.
"Itu pendapat menoritas yang bermasalah. Satu, dari kalangan Muktazilah, satunya dari kalangan Syiah," kata Kiai Wawan.
Dalam sejarah Islam, menurut Kiai Wawan, pengelompokan hadis menjadi muatawatir dan ahad terjadi pada saat lahirnya berbagai aliran dalam agama ini. Mu’tazilah memainkan peran besar dalam membagi hadis Nabi SAW menjadi muatawatir dan ahad. Dia pun menegaskan bahwa pengelompokan ini bukanlah hasil ijtihad para sahabat.
"Syiah juga, bahkan salah satu yang paling kencang berpendapat bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan hujjah itu Imam Al Murtadha. Itu tokoh Syiah," jelas Kiai Wawan.
"Syiah dan Muktazilah ada kesamaan dalam sumber ijtihad atau sumber penemuan hukum setelah Alquran dan as-Sunnah. Sumber hukum yang ketiga itu kan akal. Jadi, ketemu itu antara Syiah dan Muktazilah," kata dia.
Contoh konkret dari penggunaan hadis ahad dalam urusan akidah adalah hadis tentang siksa kubur, yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW berdoa dalam shalatnya, memohon perlindungan dari azab kubur dan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Hadis ini memberikan pandangan lebih dalam terkait kehidupan setelah mati dan tantangan yang dihadapi umat Islam.
Sebuah hadis lain yang menyoroti sifat Allah juga menggunakan hadis ahad. Riwayat Siti Aisyah menyampaikan bahwa Rasulullah Saw memuji keistiqamahan dalam beribadah, dengan mengajarkan bahwa Allah tidak pernah bosan dan sebaiknya melaksanakan ibadah sesuai dengan kemampuan, sebagaimana Allah tidak pernah lelah menjalankan kehendak-Nya.
Dalam konteks pentingnya hadis ahad sebagai hujah dalam persoalan akidah, terdapat pula hadis yang menyoroti perbuatan Allah. Salah satu contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Anas, diambil dari Sunan at-Tirmidzi oleh Syaikh Syakir.
Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw sering mengucapkan doa, “Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinik,” yang artinya, “Wahai Allah Yang Membalikkan Hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu.” Hadis ini mencerminkan kesadaran Rasulullah akan pentingnya keteguhan hati dalam memegang agama.
Ketika Anas bertanya kepada Rasulullah, menyatakan keimanannya kepada Allah dan ajaran yang dibawanya, Rasulullah tetap menunjukkan kekhawatiran terhadap umatnya. Anas bertanya, “Apakah Engkau masih mengkhawatirkan kami?” Rasulullah menjawab, “Iya, karena hati itu diantara dua jari dari jari-jari Allah.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa keadaan hati manusia sepenuhnya dalam kekuasaan Allah, yang dapat mengubahnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Hadis ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara hamba dan Sang Pencipta. Penggunaan doa oleh Rasulullah sebagai contoh amalan spiritual juga menunjukkan bahwa hadis ahad dapat menjadi sumber inspirasi dalam memperkuat keyakinan dan keteguhan hati dalam menjalani ajaran agama.
"Jadi itu haditsnya Ahad semua yang dari tadi saya sampaikan itu. Jadi itu pandangan minoritas. Belum dipastikan. Maka, saya berpendapat, selain pengembangn, harus ada pemastian seperti masalah penggunaan hadits nabi untuk aqidah, terus ada peneguhan," kata Kiai Wawan.
"Peneguhan itu lima diktum aqidah yang ada dalam bukunya Pak Asmuni (Prof Dr Asmuni MA) itu bagaimana posisinya dalam Manhaj Tarjih. Setahu saya memang itu tidak ada masalah, maka saya mengatakan, diteguhkan bahwa itu masuk dalam Manhaj Tarjih," jelas Kiai Wawan.