Agama

Madinah yang Menyala

Kota Madinah

Oleh: Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta, dosen Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) dan Konsultan Ibadah Haji PPIH Arab Saudi

Madinah al-Munawwarah, Madinah yang Menyala, merupakan nama pemberian Nabi Muhammad SAW sebagai ganti dari nama Yatsrib. Madinah artinya kota. Munawarah artinya menyala atau bersinar. Dari namanya saja sudah dapat dibaca apa yang diproyeksikan Nabi ke depan tentang kota Madinah itu. Yakni kota yang menyala dan bersinar untuk menyinari alam semesta ini dengan values (nilai-nilai luhur) yang diajarkan dan dipraktikkan Nabi dan dengan Masjid Nabawi dan Raudhah, kuburan Nabi sebagai tempat penempaan spiritual sekaligus simbol manifestasi nilai luhur yang terjaga sampai detik ini.

Shalat di Masjid Nabawi

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca


Dari aspek spiritual, Madinah adalah kota shalat dan shalawat. Shalat di Masjid Nabawi, dan shalawat di Raudhah kuburan Nabi Muhammad SAW. Di kedua tempat agung nan mulia itulah berbagai amalan shalat, baik wajib maupun sunnah, shalawat, dan zikir dilipat gandakan pahalanya. Kedua tempat itupula merupakan tempat di mana doa-doa akan mudah diterima dan terwujud (mustajabah).


Ditegaskan dalam hadits, yaitu, bahwa “Shalat di masjidku ini (Madinah) lebih baik daripada seribu kali sholat di masjid lain kecuali Masjidil Haram;” “Shalat di Masjid Madinah pahalanya setara dengan sepuluh ribu kali shalat, shalat di Masjid al-Aqsha pahalanya setara dengan seribu kali shalat, dan shalat di Masjidil-Haram pahalanya setara dengan seratus ribu kali shalat”.


Ada hadits Nabi yang menyebutkan shalat sebanyak empat puluh kali di Masjid Nawabi adalah afdhaliyah. Disebutkan dalam hadits, bahwa “barangsiapa yang melaksanakan shalat di masjidku (masjid Nabawi di Madinah) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, dan terbebas dari kemunafikan”.


Hadits yang tidak menyebutkan arba’in (empat puluh kali shalat) kebanyakan kedudukannya shahih. Sedangkan hadits yang menyebutkan arba’in adalah dha’if (lemah). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if (lemah) dapat digunakan untuk fadhail al-a’mal (keutamaan amal).


Sehingga, sejatinya berapapun waktu para jamaah haji melaksakan shalat di masjid Nabawi tetap mendapatkan pahala yang besar, yang disebutkan satu shalat pahalanya sama dengan sepuluh ribu shalat atau seribu shalat. Jika melaksanakan dalam lima waktu sehari semalam saja, maka sama dengan seribu kali shalat dikali lima. Jika dari semua aspek tidak memungkinkan melaksanakan arba’in, maka jamaah haji tetap mendapatkan pahala yang berlimpah manakala melaksanakan shalat di masjid Nabawi. Jika memungkinkan dari semua aspek, maka jamaah haji bisa melaksanakan arba’in.


Memang benar bahwa di Mekah dan Madinah banyak tempat-tempat yang diutamakan untuk dilaksanakannya ibadah dan berdoa. Akan tetapi, keutamaan itu sejatinya ditentukan oleh kualitas ibadah seseorang dan bukan ditentukan oleh kuantitas bilangan.


Quality time (waktu yang berkualitas) sejatinya tidak ditentukan oleh durasi waktu yang panjang, akan tetapi ditentukan oleh seberapa intensif dan padatnya waktu itu digunakan dengan berbagai kegiatan yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya lagi adalah tashfiya al-qalbi (penyucian hati) dari hal-hal yang merusak hati. Kunci terkabulnya doa sejatinya adalah hati yang bersih.


Jika memang punya niat untuk arba’in atau ibadah lain tetapi tidak terlaksana lantaran situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, maka niatnya saja sudah dicatat kebaikan yang sempurna oleh Allah. Dalam hadits dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna” (HR Bukhari dan Muslim)


Atau arba’in bisa diartikan yang penting shalat di Masjid Nabawi meski tidak sempat berjamaah bersama dengan imam rawathib. Bisa dilaksanakan berjamaah bersama teman sendiri atau makmum masbuk bersama orang lain yang sedang shalat di Masjid Nabawi. Sebab dalam hadits tentang arba’in sendiri tidak menysaratkan jamaah bersama imam rawathib Masjid Nabawi.


Di samping itu, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa sebagaimana halnya shalat, seluruh ibadah dan kebajikan apa saja yang dilakukan di Madinah palahanya setara dengan seribu kali lipat amal ibadah yang dilakukan. Sehingga, di mana saja amal ibadah dan amal baik dilakukan selama masih di kawasan Madinah maka ia akan mendapatkan seribu kali lipat.


Dari aspek sosiologis, Masjid Nabawi pun dijadikan sebagai tempat majlis ilmu, doktrinasi dan musyawarah antara Nabi dengan sahabatnya. Dari Masjid Nabawi banyak melahirkan ide dan pemikiran cemerlang yang menyinari peradaban umat manusia sampai saat ini.

Ziarah Kuburan Rasulullah


Ada dua keutamaan yang agung di Madinah, yaitu melaksanakan shalat di Masjid Nabawi dan ziarah ke Raudhah kuburan Rasulullah SAW. Di Madinah, Jemaah haji dianjurkan untuk melaksanakan ziarah kepada Rasulullah SAW.


Di dalam beberapa hadits dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang ziarah kepadaku (Rasulullah SAW) setelah aku meninggal dunia, maka seperti menziarahiku ketika aku masih hidup”; “Barangsipa yang ziarah ke kuburanku, maka aku wajib memberikan syafaat kepadanya”. Kepada para jemaah haji, Rasulullah SAW berkata bahwa, “Barang siapa yang haji dan tidak ziarah kepadaku, maka ia telah menjauhiku”.


Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa ziarah ke kuburan Rasulullah SAW adalah afdzhaliyat (amalan yang paling utama yang dianjurkan). Bahkan ada sebagian ulama yang mewajibkan Jemaah haji untuk melaksanakan ziarah ke kuburan Rasulullah. Meski sebagian besar ulama dari seluruh mazhab berpendapat bahwa sunnah para Jemaah haji berziarah ke kuburan Rasulullah.


Dalam kesempatan lain, Rasulullah mengatakan bahwa, “Para Nabi hidup di kuburnya”. Dalam hadits yang menjelaskan tentang Isra-Mi’raj juga menunjukkan bahwa para Nabi masih hidup dan berjumpa dengan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata, “Aku melintasi di malam Isra dan menjumpai Nabi Musa sedang melaksanakan shalat di kuburannya..”


Menurut para ulama, bahwa para syuhada (orang-orang yang mati di jalan Allah) saja masih hidup sebagaimana ditegaskan oleh Allah, apalagi para Nabi yang posisinya di atas para syuhada. Tentu saja para Nabi masih hidup. Allah SWT berfirman, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,” (QS Ali ‘Imran: 169)


Ziarah kubur dapat mengingatkan kita kepada kematian. Hidup tanpa ingat mati akan terlena dengan hidup duniawi, seolah-olah kehidupan ini tak ada akhirnya. Kematian menasihati kita bahwa tak ada pesta yang tak berakhir. Pesta pasti berakhir. Ibarat mengendarai kendaraan, ingat mati adalah rem yang dapat menahan agar tak sembarangan mengemudi dan tak menabrak membabibuta. Rasulullah SAW berkata, “Ziara kuburlah. Maka sesungguhnya ziarah kubur adalah pengingat pada kematian”; “Perbanyaklah kamu mengingat pada sesuatu yang dapat menghancurkan kelezatan dunia, yaitu kematian”.


Khusus ziarah kubur Rasulullah SAW, ada beberapa hal yang penting untuk dilaksanakan. Pertama, mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW baik dari diri sendiri atau pun menyampaikan salam dari orang lain. Dalam hadits shahih dikatakan bahwa, “tidaklah seseorang yang menyampaikan salam untukku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku bisa menjawab salamnya.”


Salam dari pribadi bisa diucapkan, “As-salaamu ‘alaika ya Rasulallah..Assalamu ‘alaika ya habiballah..” (salam sejahtera kepadamu ya Rasulullah. Salam sejahtera kepadamu wahai kekasih Allah). Sedangkan salam dari pribadi dan orang lain bisa diucapkan, “As-salaamu ‘alaika ya Rasulallah..Assalamu ‘alaika ya habiballah..min fulan bin fulan/Nama Orang,” (Salam sejahtera kepadamu ya Rasulullah. Salam sejahtera kepadamu wahai kekasih Allah dari Fulan bin Fulan).


Kedua, memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Dalam hadits dikatakan, bahwa, “Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan. Maka bacalah shalawat kepadaku. Karena shalawat yang kamu baca akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”. Hadits ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan ziarah ke kuburan Rasulullah harus sopan santun dan membaca shalawat.


Ucapan salam sejahtera dan shalawat teruntuk Rasulullah SAW adalah perintah Allah dalam al-Quran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56)


Sejatinya shalawat dianjurkan dibaca kapan saja dan di mana saja kita berada. Hanya saja ketika berada di Madinah dan Mekah, khususnya di kuburan Rasulullah SAW lebih dianjurkan lagi dan pahalanya akan dilipat gandakan, dicukupi kehidupan dunia dan akhiratnya, mendapatkan syafaat di hari akhir.


Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang bersalawat untukku di kuburanku, maka Allah akan mengutus malaikat untuk menyampaikannya kepadaku, dan ia akan dicukupi urusan dunia dan akhiranya, dan aku menjadi penolong (syafaat) dan saksi baginya di hari kiamat”.


Ketiga, berdoa. Allah SWT berfirman, “Dan sungguh, sekiranya mereka setelah mendzhalimi dirinya sendiri, dengan datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 64)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Scribo Ergo Sum - Sampaikanlah walau satu berita